Membicarakan intelijen, akan
berangkat dari pemahaman yang sangat mendasar bahwa intelijen itu adalah
pengetahuan (knowledge), bahwa intelijen itu adalah kegiatan
untuk mencari pengetahuan yang diinginkan (activity), bahwa intelijen
itu adalah organisasi yang melaksanakan kegiatan pengumpulan informasi (organization).
1.Pengetahuan yang diinginkan.
Normatifnya—intelijen berwajiban
untuk menjawab Unsur Utama Keterangan / UUK (essential element of
Information-EEI) dari pengguna. Apabila pihak pengguna adalah negara maka
derajat kepekaan UUK/EEI akan berkaitan dengan derajat kepentingan keamanan
nasional. Merancang UUK akan berawal dengan suatu pertanyaan yang sangat kritis
terhadap suatu ancaman (imminent loss) bagi negara. Bentuknya dapat
menggunakan pandangan Liotta yang mengemukakan dalam tiga pertanyaan yang
berintikan, yaitu : critical uncertainties, pre-determinant elements,
dan driving factors.
Bagi NKRI yang habitatnya adalah
air, maka pertanyaan kritis logikanya akan berat pada domain maritim, yang
dapat disusun dalam skala prioritas misalnya, sebagai contoh berikut;
i) Apakah selama tahun 2009-2014
Indonesia mampu mengendalikan (sea control) seluruh kompartemen
strategis di perairan yurisdiksinya? Pertanyaan ini akan disusul dengan
kebutuhan infromasi mengenai komponen apa saja yang menjadi pre-determinant
elements dan komponen apa saja menjadi driving factor.
(ii) Apakah selama tahun 2009-2014
rompak dan rampok mengancam distribusi sembako dan kebutuhan pembangunan di
seluruh NKRI? Sama dengan poin satu, perlu diikuti dengan pertanyaan
mengenai pre-determinant elements dan driving
factors.
(iii) Apakah selama tahun 2009-2014
proyek Mega Natuna bebas dari ancaman terror maritim? Apa saja pre-determinant
elements dan driving factors?
(iv) Apakah pada tahun
2009-2014 Indonesia mampu memberikan kontribusi yang konstruktif untuk
memelihara stabilitas perairan Asia Tenggara?
Banyak strategic area
of concern yang perlu ditinjau misalnya saja; Peace operations
and civilian protection, kerjasama bilateral seperti Lombok Agreement, potensi
konflik komunal di daerah perbatasan, alih teknologi untuk SEWACO dan
seterusnya. Pada strata operasional sebagai pengguna maka rumusan operational UUK
akan mengacu pada UUK level strategi dari pihak yang hirarkinya lebih tinggi.
2. Kegiatan yang dilaksanakan.
Rencana pengumpulan informasi akan
mengikuti kaidah perputaran roda intelijen (intelligence cycle) yang
berawal dengan perencanaan, berikut pelaksanaan, evaluasi dan
penyampaian. Siklus tersebut sudah sangat dipahami oleh para praktisi di
lapangan, tetapi perlu disadari bahwa setiap tahap mempunyai kekuatan dan
kelemahan yang bersifat laten, yang perlu diwaspadai. Banyak sekali contoh
kasus yang memperlihatkan kelemahan pada tahap perencanaan, misalnya Operasi
Mayaquez (1975) tanpa perencanaan yang matang dari pihak militer Amerika
Serikat berakhir dengan kegagalan. Contoh kelemahan pada tahap pengumpulan
adalah lemahnya pengendalian badan pengumpul, kualitas dan keandalan sarana
pengumpul (humint, elint, imint) dan koordinasi antar badan pengumpul.
Pada tahap evaluasi banyak juga
contoh kasusnya misalnya penyerbuan Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak
berdasarkan ‘kualitas’ produk intelijen. Sedangkan contoh kelemahan dalam tahap
penyampaian (dissemination) misalnya untuk mengantisipasi terhadap
seranganPearlHarbour (1941) dan serangan 11 September (2001) ke WTC New York.
Contoh-contoh tersebut pada umumnya
terjadi di Amerika Serikat dan mudah diunduh dari berbagai sumber, sebaliknya
tidak mudah untuk mendapatkan contoh kasus kegagalan yang terjadi di Indonesia.
Sepertinya budaya nasional yang mengawaki birokrasi di jajaran intelijen belum
‘siap’ dan merelakan kasus-kasus seperti itu dipelajari secara terbuka.
Pada dasarnya kegiatan intelijen
mengenal tiga moda (mode of operation) yaitu terbuka, tertutup dan semi
terbuka/ tertutup. Tiga moda kegiatan tersebut dapat juga dibedakan antara yang
positif atau negative (counter intelligence), dan makalah ini (sangat)
merekomendasikan agar counter intelligence lebih diperkuat dan
diperdayakan.
3. Organisasi dan pengembangannya.
Secara teoritis, organisasi
intelijen mengenal prinsip gunung es dan kompartementasi. Benar bahwa ada pihak
yang menginginkan bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin dan menguatnya era
demokratisasi, hak azasi manusia, ‘reformasi’, agar organisasi intelijen lebih
terbuka dan transparan. Tekanan seperti itu pernah dialami oleh Amerika Serikat
pada era Presiden Jimmy Carter, misalnya ingin membuka identitas semua agen
klandestin Amerika Serikat yang beroperasi di wilayah ‘Uni Soviet’. Tetapi
perlu dipahami bahwa karakter dari intelijen akan hilang apabila prinsip gunung
es dan kompartementasi dihapus. Apabila hal itu terjadi maka kantor intelijen
akan sama dengan kantor berita nasional, atau kantor arsip nasional, oleh
karena siapa saja boleh akses ke bidang apa saja, termasuk file keamanan
nasional yang (sangat) diinginkan oleh berbagai pihak.
Mengacu kepada Undang-undang No.
34/2004 tentang TNI, Undang-undang No.3/2002 tentang Pertahanan Negara dan
Undang-undang Dasar RI 1945, maka TNI dalam hal ini Angkatan Laut berkewajiban
untuk mengembangkan intelijen maritim dan tentunya mulai dengan menata
organisasinya. Adabeberapa langkah yang perlu ditempuh, yaitu—yang pertama,
menghimpun semua potensi humint-elint-imint, dalam satu manajemen
yang mencakup pembangunan, pembinaan, penggunaan, yang arahnya siap untuk
menerapkan siklus intelijen.
Potensi tersebut memang ada dan
‘berserakan’ di berbagai pemangku kepentingan dan ‘hanya’ gunakan
untuk mengindra kepentingan sektoral. Yang kedua—membangun tatanan
analis yang akan bertugas untuk menilai, menafsir, evaluasi, klarifikasi, hasil
dari badan pengumpul dan jejaringnya yang sesuai dengan sektor dan posisi
geografis. Yang ketiga—membangun data base beserta
protokol pemanfaatannya.
Berbagai keterbatasan yang ada
sekarang ini, seharusnya sudah mendesak Indonesiauntuk mengembangkan konsep
gabungan (jointness) dalam pengorganisasian intelijen (maritim),
yang melibatkan semua potensi
pada berbagai pemangku kepentingan.
Awalnya memang sulit oleh karena
kuatnya egosektoral, tetapi perlu upaya tersebut perlu ditempuh yang diawali
dengan membangun budaya gabungan (the culture). Rujukannya adalah (i)
kepentingan nasional yang diuntungkan, (ii) manfaat yang dapat dinikmati oleh
semua pemangku kepentingan, (iii) efisensi dan efektif yang akan terukur.
4. Operasionalisasi. Pertanyaannya—mulai
dari mana?
Sudah pada tempatnya apabila pihak pembina matra
laut yang dalam hal ini adalah Angkatan Laut, mengambil inisiatif untuk
mengembangkan beberapa langkah, yaitu; (i) merancang strategi keamanan maritim
nasional yang mengacu pada kepentingan nasional, dengan ‘menentukan’national
objective yang ingin dicapai, (ii)
merancang intelijen maritim nasional, dengan mengundang para pemangku
kepentingan dan membahas potensi humint-elint-imint yang dapat
dikembangkan, kemudian menata kapabilitas untuk membagi habis tugas pengumpulan
bahan keterangan, (iii) membahas bersama protokol untuk mengelola intelijen
maritim dan parameter monitor-evaluasi termasuk kadar efisiensi-efektivitas.
Secara teoritik, konsepsi tersebut
di atas sepertinya mudah untuk dikembangkan, akan tetapi tidak demikian halnya
di lapangan. Begitu banyak hambatannya, apakah egosektoral atau kekakuan
doktrin yang sudah kadaluwarsa, ataupun masalah dana dan teknologi, namun bukan
berarti bahwa intelijen maritim tidak dikembangkan. Mulai dengan langkah yang
sederhana yaitu menata dilingkungan sendiri, dan secara bertahap menjangkau
keberbagai pihak (pemangku kepentingan) yang terdekat.
Kebutuhan di lapangan sudah semakin
luas, misalnya saja ada kewajiban untuk mengembangkan kerjasama dengan berbagai
pihak seperti yang disepakati dalam The Lombok Agreement, ada pula
kerjasama dalam kerangka ASEAN Maritime Forum, dan masih ada lagi dalam
kerangka bilateral dengan banyak pihak.