Asal muasal kemunculan doktrin
adalah terbitnya “instruksi-perkelahian” ( fighting instruction ) bagi tentara Inggris. Bahkan negara-negara besar manapun
juga banyak belajar dari Inggris .Pengalaman angkatan laut Inggris di era PD I & II, menunjukkan doktrin yang
ditulis lebih banyak berorientasi pada doktrin angkatan .Sedangkan doktrin-doktrin yang tercipta mulai dari doktrin tingkat
taktis dan operasional bisa saja berwujud doktrin yang tertulis, instruksi tempur bahkan instruksi
lesan dari para komandan di lapangan.
Doktrin angkatan jauh lebih menonjol saat PD II. Namun era sesudah PD II dan awal
perang dingin; kesadaran lebih mendayagunakan
organisasi tugas tempur gabungan sudah jauh sangat menonjol, sehingga perilaku doktrin lebih berorientasi kepada operasi gabungan.
The Java Sea Battles, February 27, 1942
Kehancuran armada Sekutu (ABDA) dalam pertempuran di Laut Jawa melawan armada Jepang terutama disebabkan karena mengabaikan Doktrin Perang Laut di Negara Kepulauan (DPLNK) yang juga sesuai dengan Sun Tzu's Art of War.
Kehancuran armada Sekutu (ABDA) dalam pertempuran di Laut Jawa melawan armada Jepang terutama disebabkan karena mengabaikan Doktrin Perang Laut di Negara Kepulauan (DPLNK) yang juga sesuai dengan Sun Tzu's Art of War.
Apabila doktrin memang sangat besar utiliti-nya, bukankah banyak kasus-kasus konflik di-daerah di negara Indonesia ini, bersamaan dengan dibukanya klausul tentang OMSP (operasi militer selain perang ) bagi TNI yang memungkinkan diciptakan doktrin operasi militer dan OMSP. Bagi TNI, di masa mendatang dengan masih “ kecilnya peluang ancaman simetrik ”, fokus kepada OMSP dengan doktrinnya barangkali akan lebih mengemuka. Bukankah tujuan mulia diciptakannya doktrin untuk mencapai dan memperbaiki “effektivitas” penggunaan kekuatan militer, dengan cara memadukan kepercayaan ( kohesif structural ) dan tindakan ( kohesif perilaku ) di lapangan nanti.
Setiap waktu KRI akan bertolak dari pangkalan, diawali dengan aba-aba / komando : " Persiapan Kapal Berlayar dan Bertempur ! ", walaupun sedang dalam kondisi damai. Hal ini adalah tradisi AL Indonesia.
Sampai di sini dapat disarikan berbagai fenomena doktrin yang akan menimbulkan isu-isu sejumlah definisi dan tentu saja karakteristik doktrin itu sendiri. Menyimak kekuatan otoritasnya juga akan menimbulkan isu-isu seperti prinsip-prinsip saja atau prakteknya, dan atau sebagai pengarah / pegangan yang bisa kaku sekali atau sangat fleksibel, secara struktural atau procedural. Faktor lain bisa juga menimbulkan isu-isu yang cukup serius seperti waktu, tempat, jumlah atau struktur kekuatan, akan semakin menambah kesulitan ini semua.
Oleh karena itu tepatlah kalau
mendefinisikan doktrin itu juga tidak mudah, dan beberapa pakar
lebih suka menyebut doktrin adalah sesuatu yang harus dipikirkan dan diajarkan.
Doktrin dan kepentingannya
Apapun juga perilaku, katagori dan
kepentingan khusus terciptanya suatu doktrin, dipercayai semua itu diciptakan
guna kepentingan bersama menghadapi ancaman. Namun ancaman yang mana? Ancaman
simetrik jauh lebih mudah, sekurang-kurangnya mudah diketahui. Bagaimana dengan
ancaman asimetrik? Konsep asimetrik, yang lemah menyerang yang kuat ( from the weak against the strong ). Lawan beroperasi dari lingkungan asimetrik dengan sistem senjata
asimetrik dan informasi tentang mereka juga asimetrik, sulit bukan?
Sementara asumsi yang digunakan
disini adalah doktrin yang dibicarakan adalah versus ancaman simetrik. Membahas
doktrin akan lebih semakin jelas didahului dengan mencermati perilakunya.
Perilaku ini akan muncul apabila sudah dapat didefinisikan. Pengertian doktrin
perlu disamakan terlebih dahulu. Mencermati pengertian ini dari definisi JP
(Joint Publication) baik itu standar NATO maupun USA.
Doctrine
: Fundamental
principles by which the military forces or elements thereof guide their actions
in support of natinal obyectives.It’s authoritative but requires judgments in
applications.
( JP 1-02,
12 April 2001 ).
Pengertian seperti tersebut di atas untuk mendukung tujuan nasional
jauh lebih penting. Pengertian di atas juga memberikan konotasi bahwa doktrin juga bertindak sebagai ‘ how to use the forces ‘. Dari pengertian tersebut sangat menekankan adanya kaitan kuat dengan tujuan nasional. Pertanyaan besarnya apakah negeri ini sudah mengatur dan mendefinisikan
paradigma manajemen nasional yang diawali secara
berurutan dari tujuan nasional yang mendasar, strategi keamanan nasional, strategi-strategi DIME, dan strategi nasional dibawahnya, barulah program program nasional yang mengacu kepada strategi di bawah strategi DIME tersebut.
Kalau belum, bagaimana memodelkan
posisi doktrin yang tercipta, di tengah-tengah strategi nasional, kebijakan nasional dan program-program
nasional dan undang-undang? Sebagai prinsip
dasar akan memberikan arahan bagaimana menggunakan kekuatan militer juga sangat
penting. Dengan disisipkannya kalimat otoritatif, terkesan ada tekanan perintah
yang harus diikuti namun tetap ada keluwesan bagi komandan komandan di lapangan dengan merujuk kata-kata
“judgements in applications”.
Tanpa penjelasan perilaku doktrin
dan apa maunya doktrin tentu saja akan menciptakan suatu keputusan yang “kaku”
di lapangan, dan bisa menimbulkan keragu-raguan di lapangan nantinya. Ada kriteria berdasarkan sejarah, dapat dipercaya dan
lain-lain, sah-sah saja. Meskipun kata kata
seperti itu bisa saja membingungkan. Bahwa sejarah ikut mendorong terciptanya
doktrin memang betul, tetapi sejarah bisa saja terjadi karena “faktor keberuntungan“ saja, bagi
yang diuntungkan. Tidak menolak sejarah burukpun, karena kekurang-beruntungan juga akan mampu mendorong terciptanya doktrin.
Bahkan sebelum sejarah itu terjadi doktrin juga sudah diciptakan dalam rangka
menyatukan persepsi, filosofi, tujuan, bahasa dan meneguhkan upaya ( unity of effort ).
Kesadaran penggunaan kekuatan
militer untuk tujuan perang maupun bukan perang sudah tidak dibatasi lagi
dilaksanakan oleh individual angkatan. Doktrin
untuk mendukung operasi gabungan, paduan, bilateral, maupun multilateral lebih
banyak tercipta sekarang ini, dibandingkan doktrin-doktrin yang digunakan
khusus masing-masing angkatan di manapun juga.
Kecenderungan ini menunjukkan
operasi militer akan lebih effisien lagi bila dilakukan dalam bentuk gabungan, atau paduan, atau multilateral,
atau multinasional, bahkan melibatkan kelompok sipil. TNI baru mengembangkan yang terakhir sebagai operasi
gabungan.
Bahkan katagori operasi militer
tertutup-pun yang biasanya secara tradisional dilakukan
oleh pasukan khusus salah satu angkatan, sudah
dilakukan dalam bentuk komando gabungan pasukan khusus ( Joint SOF Command ). Pernyataan terakhir ini cukup akomodatif memenuhi keinginan alam
demokrasi, transparansi, dan diketahui publik, agar satuan militer bermain lebih terbuka bagi public, dan lebih cantik.
Barangkali keterlibatan elit sipil
dalam operasi militer langsung atau tidak langsung akan semakin menjadikan
militer lebih populer. Meskipun semua ini bisa saja menimbulkan pertanyaan
besar seperti: masih adakah tempat yang lapang bagi doktrin angkatan ? Keinginan untuk menyatukan tujuan, tentu saja akan cukup
peka dipengaruhi revolusi urusan militer ( RMA ), dengan demikian doktrinpun
sangat dimungkinkan bisa berubah karena mengikuti teknologi.*)
( Ir.Budiman Djoko Said,MM : Amazon Paperback )
*) Dua faktor pokok yang mengharuskan perubahan / revisi Doktrin Militer, yaitu: adanya perkembangan teknologi militer/ditemukannya sistem persenjataan terbaru, dan karena adanya perubahan politik. Contohnya ketika terjadi reformasi pasca turunnya pak Soeharto sebagai Presiden R.I, maka diadakan revisi terhadap Doktrin Pertahanan Negara R.I, Doktrin TNI, dan Doktrin-Doktrin Angkatan. Sekarang ini Doktrin TNI mengacu kepada doktrin militer negara-negara NATO, hal ini disebabkan karena sistem persenjataan kebanyakan berasal dari pengadaan sista NATO. Suatu saat misalnya banyak membeli sista dari Russia atau China, maka doktrinnya harus disesuaikan.