PENDAHULUAN
KEKUATAN MARITIM
Dua pertiga dari permukaan bumi berupa
lautan, dan lebih dari 150 negara yang ada di dunia adalah negara
pantai dan atau negara kepulauan. Hal ini memberikan pemahaman atas
suatu fakta, bahwa kehidupan manusia di dunia baik menyangkut
kesejahteraan dan keamanan, dan dalam hubungannya antar bangsa-bangsa
di dunia, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kelautan atau
lingkungan maritim.
Oleh karenanya, tujuan nasional sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, yang secara spesifik dijabarkan oleh masing-masing negara ke dalam tujuan politik, ekonomi dan militer, akan sangat dipengaruhi oleh fenomena kemaritiman dunia.
Fenomena kemaritiman dunia dari waktu ke waktu selalu berubah
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
menimbulkan implikasi yang luas bagi bangsa-bangsa di dunia menyangkut
upayanya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan keamanan
wilayah teritorialnya. Lebih-lebih lagi bagi negara pantai atau
negara kepulauan seperti Indonesia, segala upaya yang dilakukan akan
bermuara pada upaya untuk memperkuat Kekuatan Maritimnya, dalam rangka melaksanakan Strategi Maritim untuk Pertahanan dan Keamanan Negara.
Memperkuat Kekuatan Maritim bagi bangsa Indonesia merupakan amanat dari Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang No.3 / 2002 tersebut secara jelas mengamanatkan perubahan mendasar terhadap doktrin maupun konsepsi dasar pertahanan negara Indonesia. Pasal 3 ayat 2 UU. No.3 / 2002 menyatakan, bahwa Pertahanan Negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Hal itu berarti, bahwa strategi apapun yang dilakukan untuk melakukan
upaya Pertahanan dan Keamanan negara, harus bertumpu kepada Strategi Maritim.
KEKUATAN MARITIM
Kekuatan Maritim atau Maritime Power pada dasarnya adalah kekuatan nasional dari suatu bangsa yang digunakan sebagai sarana untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut, dalam rangka menjamin dan melindungi kepentingan nasional bangsa. Kata " Maritim " mengandung arti integrasi atau gabungan dari banyak kekuatan dan menunjukkan lingkungan alam dimana kekuatan-kekuatan itu dibangun dan dikerahkan. Kata Maritim tidak menunjukkan satu atau dua institusi saja, melainkan banyak institusi yang bernaung di bawah suatu negara maritim. Berdasarkan hal tersebut, suatu skuadron pesawat tempur dan suatu brigade infanteri bisa menjadi komponen dari kekuatan maritim.
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa kekuatan pesawat tempur sangat diperlukan dalam operasi di laut baik waktu keadaan damai, terlebih dalam situasi perang. Demikian juga, suatu kegiatan operasi di laut tidak terlepas keterkaitannya dengan kegiatan operasi di darat, demikian pula sebaliknya.
Rear Admiral Alfred Thayer Mahan dalam bukunya yang terkenal : " The Influence Of Sea PowerUpon History 1660 - 1783 " yang terbit pada tahun 1890 menjelaskan teorinya dengan menggunakan contoh-contoh dari perang antara Inggris vs Belanda pada akhir abad-17 dan perang Inggris vs Perancis pada abad-18. Mahan mencatat, bahwa kejadian-kejadian di laut sangat mempengaruhi kejadian-kejadian di darat. Namun sering kali keputusan-keputusan politik yang diambil berdasarkan kejadian-kejadian di darat, jarang mempertimbangkan aspek kemaritiman.
Alfred Thayer Mahan menggaris-bawahi, bahwa Sea Power atau Kekuatan Laut merupakan unsur yang sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa. Apa yang dimaksud dengan Sea Power atau Kekuatan Laut, pada dasarnya identik dengan Kekuatan Mariim atau Maritime Power. Apabila kekuatan-kekuatan itu diberdayakan, maka akan meningkatkan Kesejahteraan dan Keamanan Negara. Sebaliknya bila kekuatan-kekuatan itu kurang diberdayakan, akan berakibat sangat merugikan negara atau meruntuhkan bangsa tersebut. A.T. Mahan menyatakan, bahwa Kekuatan Laut adalah : " All that tends to make a people great upon the sea or by sea ".
KOMPONEN KEKUATAN MARITIM
Komponen Kekuatan Maritim dari suatu bangsa menurut A.T. Mahan, ada enam yaitu :
1. Posisi Geografi.
2. Bentuk Fisik Wilayah.
3. Luas Wilayah.
4. Jumlah Penduduk.
5. Watak / Karakter Rakyat.
6. Sikap Pemerintah.
Enam komponen Kekuatan Maritim yang dikemukakan oleh A.T.Mahan pada abad-19 tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai acuan, namun dengan pemahaman dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sejak pertengahan abad-20. Oleh karenanya faktor-faktor dominan lainnya seperti tingkat penguasaan Iptek, Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, dan perkembangan Industri & Jasa Maritim yang merupakan penggerak dari pembangunan kekuatan maritim, harus dipertimbangkan pengaruhnya.
Selain A.T Mahan, ada beberapa teori lainnya tentang komponen / elemen-elemen Kekuatan Maritim. Antara lain dikemukakan oleh Admiral Sir Herbert Richmond dari Royal Navy / negara Inggris ( 1871 - 1946 ). Sir Herbert Richmond berpendapat bahwa elemen-elemen Kekuatan Maritim yang penting ada tiga, yaitu :
1. Armada Niaga.
2. Armada Tempur.
3. Pangkalan Di Seberang Lautan.
Sedangkan Admiral Wegener dari Jerman berpendapat bahwa untuk membangun Kekuatan Maritim yang kuat diperlukan :
1. Armada.
2. Posisi / Pangkalan.
3. Mentalitas Bangsa Berorientasi Maritim.
Dari beberapa teori tentang Kekuatan Maritim tersebut di atas, dapat disusun suatu Anatomi Kekuatan Maritim :
1. Sumber Kekuatan : Geografi, Sumber Daya, Penguasaan Iptek, Sikap Pemerintah, dan Karakter Bangsa.
2. Elemen : Armada Niaga, Armada Tempur, Armada Perikanan, Armada Pemerintah ( Coast Guard, dsbnya ), Pesawat Udara Tempur dan Non Tempur, Pangkalan termasuk Pangkalan Udara, serta Pelabuhan dan fasillitasnya.
3. Wujud Holistik : Kekuatan Maritim atau Maritime Power / Sea Power.
KEMAMPUAN MARITIM
Kemampuan Maritim atau Maritime Capability dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu kemampuan ekonomi, politik dan militer dari suatu bangsa, yang dapat diwujudkan untuk mempengaruhi menggunaan laut untuk kepentingan sendiri ( Use the Sea ), serta mencegah penggunaan laut oleh pihak-pihak lain yang merugikan pihak sendiri ( Sea Denial ). Pada dasarnya Kemampuan Maritim dari suatu bangsa selalu digunakan untuk Pengendalian Laut ( Sea Control ) demi untuk kepentingan ekonomi dan kelangsungan hidup bangsa.
Sedangkan Maritime Capability dalam pengertian yang lebih spesifik, adalah suatu Kemampuan Militer dari suatu bangsa yang digunakan untuk tugas-tugas pertahanan di laut, yakni dalam rangka menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yurisdiksinya. Maritime Capability dalam pengertian yang lebih spesifik ini, harus dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa di darat, baik melalui kehadiran dari suatu kekuatan di laut untuk tugas-tugas patroli perbatasan, operasi bantuan, proyeksi kekuatan, maupun dalam bentuknya sebagai komponen dari operasi gabungan.
Dewasa ini kemampuan proyeksi kekuatan maupun untuk tugas-tugas operasi bantuan semakin berkembang karena adanya kombinasi dengan pesawat udara berbasis di laut. Dan ditambah dengan adanya penggunaan misil dari kapal ke sasaran di darat, semakin meningkatkan teknik dan taktik dalam pelaksanaan operasi amfibi.
STRATEGI MARITIM ZAMAN KAPAL GALLEY
Kapal Galley adalah sejenis kapal layar besar yang dilengkapi dengan dayung. Istilah Kapal Galley ini digunakan untuk menyebut kapal atau perahu layar yang di gunakan pada zaman Sebelum Masehi.
Strategi Maritim pada zaman Sebelum Masehi tidak banyak diketahui, namun
berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada bisa memberikan suatu gambaran,
bahwa Kekuatan Maritim pada zaman Sebelum Masehi juga memainkan peranan sangat
penting dalam hubungan antar bangsa-bangsa di dunia.
Relief Kapal Layar di Candi Borobudur
Dari fakta sejarah diketahui, kerajaan Romawi yang berpusat di
daratan Eropa Selatan / Laut Tengah memiliki kekuasaan sampai ke Pulau Britania
/ Inggris. Negara Inggris bahkan pernah dijajah oleh bangsa
Romawi selama kurang lebih empat abad, mulai dari tahun 54 SM
sampai abad-5 Masehi. Hal itu menunjukkan bahwa kerajaan
Romawi pada masa itu memiliki kekuatan maritim yang besar, sehingga mampu
menguasai jalan perdagangan lewat laut di kawasan Laut Tengah sampai kawasan
Pulau Britania.
Salah satu peninggalan dari zaman Sebelum Masehi itu adalah Buku Sejarah karya Thucidides
( 460 - 404 BC ), yakni " History Of The
Peleponnesian War ". Buku Sejarah ini
menggambarkan terjadinya perang antara Athena melawan Liga Peloponesia yang
dipimpin oleh Sparta.
Suatu hal yang menarik, buku tersebut ditulis oleh salah satu tokoh
pelaku sejarah itu sendiri : Thucidides, yang pada waktu itu memegang komando Armada Athena yang
berpangkalan di Thasos. Dalam pertempuran melawan Armada Liga Peloponesia, Armada Athena yang dipimpin Thucidides hancur dan kocar-kacir, kapal komandonya bahkan tenggelam, namun Thucidides berhasil menyelamatkan diri.
Athena dan Sparta adalah dua negara kota di
Yunani, disamping beberapa negara
kota lainnya. Sejak sebelum pecah perang Peloponesia, dua kerajaan ini saling bersaing dalam
perdagangan melalui laut, dan dalam
persaingan tersebut Sparta mendapat dukungan dari Kekaisaran Persia.
Namun Athena lebih dulu membangun Kekuatan Maritimnya, sehingga kerajaan Athena berkembang menjadi
Kekaisaran yang disegani. Sekitar tahun
480 SM Athena berperang melawan Persia,
dan berusaha melemahkan pengaruh Persia terhadap Yunani, dibantu oleh sekutu-sekutunya di Yunani.
Hal tersebut menggerakkan Sparta untuk membangun Kekuatan Maritimnya, mengingat dalam Perang Persia Sparta masih
lemah dan tidak bisa berbuat banyak untuk membantu sekutu utamanya, Persia.
Kekaisaran Persia waktu itu pada masa
kejayaannya dipimpin oleh Karesh Agung, dan kemudian Darius Agung. Kekaisaran
Persia meliputi wilayah yang sangat
luas, antara lain yang sekarang menjadi negara-negara
: Iran,
Irak, Afghanistan, Yordania,
Israel, Lebanon, Suriah, Asia Tengah,
Pakistan, Mesir dan ke Barat sampai Libya. Sebagai Kekaisaran yang besar dan
kuat, Persia dipandang musuh oleh
negara-negara kota Yunani, terutama
Athena yang berusaha menyainginya.
Dan musuh Athena, yakni Sparta akhirnya
berhasil membangun Kekuatan Maritimnya atas dukungan Kekaisaran Persia, serta berhasil merangkul beberapa negara kota
lainnya menjadi sekutunya untuk melawan Athena.
Perang Peloponesia berakhir pada tahun 404 SM,
berakibat kehancuran angkatan perang Athena dan kemenangan di pihak Liga
Peloponesia, atau Sparta. Sparta menjadi negara penguasa tanah Yunani. Sejak itu Athena tidak pernah bangkit
lagi, dan pengaruh Kekaisaran Persia
semakin kuat di daratan Eropa..
Dalam sejarah perang Peleponesia banyak hal-hal penting
yang terungkap tentang Strategi Maritim yang digunakan pada masa itu.
Admiral Sir Reginald Custance, Royal
Navy / Inggris, pada abad-19 menganalisis
sejarah yang ditulis oleh Thucidides,
dan menyimpulkan :
1. Athena pada masa itu merupakan kerajaan
Maritim yang besar dan sangat mengandalkan Kekuatan Maritimnya, termasuk dalam membangun kekuatan Angkatan Perangnya.
2. Kekuatan Angkatan Laut Athena digunakan
untuk perang di Darat, bukan Kekuatan
Pasukan Infanterinya. Dengan kata
lain, Proyeksi Kekuatan yang
dilaksanakan oleh Athena sepenuhnya dilakukan oleh pasukan Angkatan Lautnya.
3. Kesalahan penggunaan Sumber Daya Kekuatan
telah menjerumuskan Athena dalam berbagai kegagalan di pertempuran.
4. Strategi Perang Laut yang digunakan oleh
Athena adalah Strategi Perang Darat.
Menurut pendapat Sir Reginald Custance,
Strategi Maritim Zaman Kapal Galley antara lain :
1. Menduduki dan menguasai daratan
musuh melalui Proyeksi Kekuatan.
2. Mempertahankan daratan sendiri dari
serangan musuh.
3. Memutuskan jalur perdagangan musuh.
4. Merampas, Merusak,
dan Menenggelamkan kapal lawan.
Bentuk
Strategi Maritim yang digunakan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk
dari penerapan ‘ Penguasaan Laut ‘ atau ‘ Command Of The Sea ‘,
dan ‘ Mencegah Penggunaan Laut oleh Musuh ‘ atau
‘ Sea Denial ‘.
STRATEGI MARITIM ZAMAN KAPAL LAYAR
Strategi Maritim Zaman Kapal Layar,
yakni Strategi Maritim setelah tahun Masehi, dan sebelum era Kapal Motor. Tentang hal ini terkait dengan masa Sebelum
Masehi, dan bisa dicermati dari sejarah
bangsa-bangsa pelaut misalnya Romawi dan
Viking.
Diketahui bahwa menjelang tahun Masehi,
tepatnya pada tahun 54 Sebelum Masehi,
kerajaan Romawi menginvasi kepulauan Britania dan berhasil menaklukkan dan
menjajah Inggris. Pada masa itu bisa
dikatakan bahwa perdagangan maupun peradaban di Eropa dikuasai oleh
Romawi. Lebih dari empat abad lamanya
Inggris dibawah kekuasaan kerajaan Romawi,
yaitu sampai abad-5 Masehi. Oleh
karena itu tidak mengherankan bila peradaban Inggris pada awal abad-abad Masehi
banyak dipengaruhi oleh peradaban Romawi,
termasuk visi kemaritimannya.
Selain pernah ditaklukkan oleh Romawi,
Inggris pernah pula ditaklukkan bangsa
Viking ( Norwegia ),
dan dijajah lebih kurang dua abad lamanya. Perlu diketahui bahwa sekitar abad 8 – 9 Masehi kerajaan bangsa Viking merupakan
kerajaan maritim terbesar di Eropa.
Dan akibat dari pengaruh peradaban Romawi dan Viking, sejak abad-11 negara Inggris berkembang
menjadi Negara Maritim yang besar.
Pada masa yang sama Negara-negara di Eropa lainnya seperti Perancis, Belanda,
Spanyol, dan Portugis
juga mengembangkan Kekuatan Maritimnya.
Oleh karenanya sejak saat itu dunia
kemaritiman di Eropa banyak diwarnai dengan sengketa dan peperangan laut.
Sumber permasalahan yang dipersengketakan tidak berbeda dengan
persengketaan yang terjadi pada era Kapal Galley : persaingan perdagangan, perebutan
pengaruh, dan atau perebutan daerah koloni. Bahkan ada yang bermusuhan dan selama satu abad atau 100 tahun berperang ( The Hundred Years War ).
Perang Salib.
Seiring dengan surutnya Romawi dan Viking, kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah berkembang pesat. Pada abad-11 Jerusalem jatuh ke tangan
kesultanan Mesir, dan Pusat Peradaban beralih ke Timur
Tengah. Pada masa inilah negara Inggris
mengirim ekspedisi Kekuatan Lautnya berkali-kali untuk merebut “
Tanah Suci Jerusalem “, dikenal dalam sejarah sebagai Perang Salib I, II, dan III.
Semua ekspedisi Kekuatan Lautnya itu dihancurkan oleh Armada Mesir yang waktu itu telah memiliki Teknologi Perang lebih tinggi,
yaitu penggunaan meriam / kanon
yang bermesiu. Akibat dari
kekalahan dalam Perang Salib itu telah memperkaya dan memperluas pengalaman
Inggris, dan negara-negara di Eropa pada
umumnya, untuk “ alih ilmu pengetahuan dan teknologi “ dari Timur Tengah, antara lain soal pembuatan kanon bermesiu dan
pembuatan kertas.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang antar agama. Hal ini sesuai diktum Clausewitz tentang Perang, bahwa Perang adalah kelanjutan Politik dengan Alat dan Cara-cara yang lain. Dalam Perang Salib sentimen agama dipolitisir. Seperti telah ditulis di depan, perang di zaman kapal layar penyebabnya tidak jauh berbeda dengan persengketaan yang terjadi pada era Kapal Galley : persaingan perdagangan, perebutan
pengaruh, dan atau perebutan daerah koloni.
Perang Seratus Tahun ( The Hundred Years War ),
Pada pertengahan abad-14 sampai pertengahan
abad-15, negara Inggris terlibat dalam
peperangan melawan Perancis, dikenal
sebagai “ Perang
Seratus Tahun “. Selama seratus tahun atau satu abad
berperang, berbagai pertempuran laut
sering terjadi antara ke dua pihak, diselingi
dengan perdamaian dan gencatan senjata,
yang lalu berkobar lagi diawali dengan pengepungan dan pengrusakan
armada, dan kemenangan serta kekalahan
silih berganti antara ke duanya.
Sumber persengketaan, selain persaingan
dalam perdagangan dan perebutan pengaruh di kawasan Eropa, juga menyangkut perebutan daerah Aquitaine yang terletak di wilayah Barat Daya negara Perancis yang diklaim oleh Inggris sebagai
daerah dalam kekuasaannya.
Setelah satu abad berperang, pada
akhirnya di tahun 1453 peperangan
dimenangkan oleh Perancis.
Dampak dari kekalahan dalam Perang Seratus Tahun, kembali negara Inggris memperoleh manfaat yang besar :
Di masa sebelum perang, penggunaan bahasa Perancis menjadi kebanggaan bagi
kaum terpelajar dan kalangan elite di Eropa,
termasuk di negara Inggris sendiri.
Sedangkan bahasa Inggris hanya digunakan sebagai bahasa ke dua. Namun setelah Perang Seratus Tahun, dan disebabkan kebencian yang mendalam
terhadap Perancis, maka penggunaan bahasa Inggris menjadi
terangkat. Kalangan elite Inggris tidak
mau lagi menggunakan bahasa Perancis.
Sejak masa itu maka kesusastraan
Inggris maju dan berkembang, serta
meluas ke seluruh daratan Eropa, ke
daerah-daerah koloninya, dan ke seluruh
dunia
Ekspedisi Raja Philip, Spanyol- 1588.
Pada
masa pemerintahan Ratu Elizabeth I di
abad-16, Inggris sudah berkembang
menjadi negara maritim yang disegani di Eropa. Namun Kekuatan Maritimnya masih kalah
dibandingkan dengan negara Spanyol, yang
ketika itu di bawah Raja Philip.
Dan dalam persaingan perdagangan, segala
cara ditempuh untuk mengalahkan saingannya. Di masa itu belum ada aturan baku dalam
dunia pelayaran. Dua kapal yang
masing-masing berasal dari dua negara yang bermusuhan, dan bertemu di tengah laut, bisa terjadi pertempuran, saling merampas, membajak,
atau merusak. Dikenal nama-nama
seperti Francis Drake dan kawan-kawannya. Mereka
sering membajak kapal-kapal dagang Spanyol,
terutama yang mengangkut emas dan perak,
di Samudera Atlantik dan di laut sekitar Amerika Selatan.
Sebagian hasilnya ternyata disetorkan
ke kas kerajaan, dan Ratu Elizabeth I
terkesan mendukung kegiatan mereka itu.
Francis Drake dan kawan-kawannya
bahkan mendapat anugerah gelar kebangsawanan.
Hal ini menimbulkan kemarahan raja Spanyol, Philip.
Sehingga Raja Philip langsung memerintahkan kekuatan armada perangnya yang terdiri dari 131 kapal untuk menyerang dan
menaklukkan Inggris.
Kekuatan armada Spanyol yang besar tersebut
dihadapi oleh armada Inggris yang lebih kecil. Armada Inggris menerapkan strategi “ fleet in being “ atau Armaga Siaga,
yaitu kapal-kapal bersiaga di pangkalan,
dan hanya menyerang dalam kondisi
yang menguntungkan. Armada tempur Inggris mendapat bantuan dari
kapal-kapal bajak lautnya, dan dengan berbagai taktik berusaha mencerai-
beraikan formasi kapal-kapal lawannya. Kapal-kapal Spanyol yang terpisah dari
formasi induknya diserang oleh armada Inggris,
dirusak dan ditenggelamkan.
Pertempuran terjadi di Selat Channel
selama 10 hari. Armada Spanyol
dibuat menjadi kocar-kacir, dan banyak
yang menghindari keganasan kapal-kapal bajak laut Inggris. Sebagian kapal-kapal Spanyol bermaksud kembali ke negerinya, dan mereka memilih jalan memutar ke Utara
mengitari kepulauan Britania. Namun
sebagian besar kapal-kapal Spanyol itu diserang
badai di Laut Utara, dan banyak yang
tenggelam.
Nama Francis Drake cukup dikenal
dalam sejarah, dia adalah pelaut yang
gemar berpetualang. Dan dalam route
pelayarannya Francis Drake sempat masuk
ke perairan Nusantara, bahkan singgah
di Ternate dan diterima baik oleh Sultan
Baabullah ( 1570 – 1584 ) di istana Gamalama.
Pada saat itu Ternate selesai
memenangkan perang terhadap Portugis,
dan berhasil mengusir Portugis dari wilayahnya. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, kerajaan Ternate berkembang dengan pesat.
Wilayah kekuasaannya meliputi
kurang lebih 72 pulau di Maluku Utara,
kecuali Pulau Tidore. Sultan
Baabullah berhasil menjadikan Ternate sebagai pelabuhan
bebas , sehinga banyak
disinggahi oleh pedagang-pedagang mancanegara.
Sultan Baabullah dikenal sebagai tokoh
sejarah yang berhasil mengusir Portugis
dari Maluku Utara. Dia pula yang
selama 5 tahun mengepung benteng Portugis di Ternate, kemudian setelah orang-orang Portugis menjadi
lemah, mereka dibebaskan dan benteng itu
dikuasai oleh sultan serta dijadikan istananya. Selain mengusir Portugis, Sultan
Baabullah juga berhasil membatasi gerakan kapal-kapal Spanyol yang menjalin
hubungan perdagangan dengan penguasa Tidore.
Nama dan istilah strategi " Fleet In Being " digunakan pertama kali oleh Lord Torrington, Komandan Task Group Royal Navy di Selat Channel, pada tahun 1690. Namun dari sejarah perang laut diketahui, bahwa strategi fleet in being atau Armada Siaga itu telah digunakan oleh Liga Peloponesia untuk menjebak armada Athena, dalam Perang Peloponesia yang terjadi Sebelum Masehi.
Dan dalam sejarah Indonesia bisa dicermati, bahwa fleet in being dilakukan pula oleh Fatahilah ( Faletehan ) setelah berhasil menaklukkan Banten sekitar tahun 1526, kemudian menggagalkan rencana Portugis dalam usahanya membangun benteng di Sunda Kelapa. Tiga kali Portugis memberangkatkan ekspedisi armadanya dari Malaka, namun ketiga ekspedisi armada Portugis itu berhasil digagalkan oleh Fatahilah.
Strategi itu pula yang kemungkinan besar dipraktekkan oleh Sultan Babullah dalam memenangkan peperangan melawan armada Portugis di Maluku Utara, mengingat bahwa fleet in being atau Armada Siaga hanya akan efektif digunakan dalam peperangan laut bagi kekuatan kecil melawan kekuatan lebih besar, di perairan laut yang kondisi geografinya banyak pulau, selat-selat sempit, dan perairan yang banyak karangnya.
Strategi fleet in being menghindari perang frontal yang bisa menghancurkan kekuatan inti dari armada. Kehancuran armada sekutu dalam Perang di Laut Jawa, 27 Februari 1942, adalah karena menghadang lawan secara frontal dan mengabaikan doktrin fleet in being.
Ekspedisi Pati Unus & Sultan Agung.
Dalam sejarah diketahui bahwa awal
penjajahan bangsa asing terhadap Nusantara banyak diwarnai dengan berbagai
pertempuran laut, sebagai bentuk
perlawanan dari bangsa pelaut Nusantara.
Beberapa negara Eropa yang berniaga sampai kawasan Nusantara : Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris.
Niatnya semula adalah berdagang, yaitu terutama mencari rempah-rempah dan lada
, yang banyak dihasilkan di Maluku dan
juga Pulau Jawa, sebagai komuditi yang
banyak memberikan keuntungan di pasaran Eropa.
Niat berdagang tersebut berkembang menjadi keinginan untuk menguasai dan monopoli perdagangan. Strategi yang mereka terapkan adalah
praktek yang biasa dilakukan di Eropa saat itu
: kerjasama dengan penguasa
setempat untuk mendirikan benteng dan pangkalan bagi kapal-kapal niaganya. Dan jika kerjasama sulit diwujudkan, mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan
merebut pangkalan penting, serta menghancurkan
perdagangan lawan. Contohnya, pada tahun 1511 Portugis menyerang dan merebut Malaka yang waktu itu merupakan
Pusat Perdagangan di kawasan Asia
Tenggara.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan perlawanan dari
kerajaan-kerajaan Nusantara, antara
lain :
Kampar, Pasai dan Demak. Penguasa kesultanan
Demak sempat dua kali mengirim ekspedisi
untuk merebut kembali Malaka.
Ekspedisi pertama pada tahun 1511, dan ke dua tahun 1512, dengan mengerahkan
sebanyak 12.000 prajurit angkatan
laut, dipimpin oleh oleh Pate
Unus. Ekspedisi Pate Unus ke Malaka tersebut
merupakan satu bentuk dari Strategi Maritim
“ Proyeksi Kekuatan Maritim “,
atau “ Maritime Power Projection “. Pasukan pimpinan Pate Unus tidak berhasil
merebut kembali Malaka, salah satu
sebabnya karena bantuan yang semula diharapkan datang dari Melayu, ternyata tidak muncul, kemungkinan sudah berhasil dirangkul oleh
pihak Portugis.
Strategi Proyeksi Kekuatan Maritim
dilakukan pula oleh Sultan Agung
, kerajaan Mataram, dalam rangka
memperluas kekuasaannya ketika berusaha menaklukkan Surabaya ( 1622 – 1625 ). Sultan Agung tidak langsung menyerang
Surabaya, melainkan berusaha menaklukkan
terlebih dulu pangkalan-pangkalan pendukung perdagangan Surabaya : Sukadana dan Madura.
Ekspedisi
ke Sukadana dikirim pada tahun 1622 dengan
kekuatan 70 kapal dan 2000 prajurit, sedangkan ekspedisi ke Madura dilakukan pada
tahun 1624.
Setelah Sukadana dan Madura berhasil dikuasai oleh Mataram, ternyata
Surabaya belum bisa ditaklukkan,
karena Surabaya masih aman-aman saja pada jalur perdagangannya dengan
Maluku dan Makasar.
Surabaya baru berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1625, setelah Sultan
Agung menggabungkan strategi perang laut dengan perang darat, yaitu mengepung Surabaya dan memutuskan
hubungannya dengan daerah pedalaman.
Seni Perang Darat yang yang dimainkan oleh Sultan Agung, dengan cara membendung Sungai Brantas dan
membelokkan aliran sungai ke jurusan lain, untuk menghentikan aliran sungai ke Surabaya.
Strategi Maritim yang diterapkan oleh Sultan
Agung merupakan contoh yang baik dari penerapan doktrin maritim sesuai
prinsip-prinsip Strategi Maritim yang diajarkan oleh Sir Julian Corbett, seorang sejarawan Inggris / Royal Navy :
“ By maritime strategy we mean the
principles which govern a war in which the sea is a substantial
factors. Naval Strategy is but that
part of it which determines the movements of the fleet when maritime strategy
has determined.
What part the fleet must play in relation to the action of the land
forces; for it scarcely needs saying
that it is almost impossible that a war can be decided by Naval action alone.
The paramount concern, then, of Maritime
Strategy is to determine the mutual relations of your Army and Navy in a
plan of War. When this is done, and not till then, Naval Strategy can begin to work out the
manner in which the fleet can best discharge the function assigned to it. “
( Sir Julian Stafford Corbett, Some Principle of Maritime Strategy, 1911
).
Ide-ide dan pemikiran Julian Corbet banyak
dipelajari oleh para pemikir strategi di zaman modern / abad-20. Dan yang menarik, Julian Corbett menekankan pentingnya pembahasan soal-soal perang dan strategi secara
ilmiah, walaupun diakuinya hal itu agak
sulit mengingat dalam prakteknya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perang mengalir sedemikian
rupa, dan sulit diprediksi secara
matematis.
Kelihatan bahwa ide-ide
Julian Corbett banyak dipengaruhi oleh ide-ide dalam buku “ On War
“ karya Clausewitz dan “ Art
Of War ‘ karya Sun Tzu.
Pengaruh atau pengembangan ide Clausewitz
nampak jelas, namun secara tersirat sebenarnya Corbet banyak mengembangkan ide-ide Sun Tzu,
walaupun di awal bukunya Corbett
menyebut “ Art of War “
sebagai tidak ilmiah.
“ For centuries men had written on the ' Art of War ', but for want of a workingtheory their labours as a whole had been unscientific, concerned for the most part with the discussion of passing fashions and the elaboration of platitudes " ( Julian Corbett, Some Principle of Maritime Strategy, 1911 ).
Ide-ide yang dikembangkan oleh Julian Corbett, antara lain berkaitan dengan asas pertamanya tentang
strategi maritim yang berkaitan dengan tujuan perang laut dan hasil yang
diharapkan. Semuanya mengarah kepada
upaya untuk menjamin kepentingan vital pihak sendiri. Corbett menekankan bahwa teori perang
diperlukan sebagai pemersatu kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh negara, di darat maupun di laut. Hal ini juga tercantum dalam “ Art of War “, bahwa ilmu perang harus selalu dipelajari
karena menyangkut jatuh dan bangunnya negara,
dan bahwa keberhasilan perang sangat ditentukan oleh kondisi hubungan
antara penguasa dan rakyatnya, serta
antara pimpinan pasukan dengan bawahannya.
“
War is a matter of vital importance to the state; the province of life or death; the road to survival or ruin. It is mandatory that is be thoroughly
studied “ ( Sun Tzu,
500 BC ).
Corbett memperluas strategi maritim antara lain
dengan penjelasannya tentang kekhasan dari perang laut, hubungan antara penguasaan laut dan pengendalian
laut, serta pembagian jenis-jenis
pengendalian laut berdasarkan kategori /
situasi dan kondisinya. Dari sisi ini terlihat bahwa Julian Corbett telah mempelajari karya Sun Tzu The Art of War, dan Corbett berusaha ' mengilmiahkan ' diktum-diktum Sun Tzu tentang macam-macam daerah pertempuran ( battle field ) yang masing-masing memiliki karakter tersendiri dan sangat mempengaruhi jalannya pertempuran.
Ide-ide Julian Corbet termasuk yang membidani lahirnya Doktrin Maritim negara Inggris. Di bawah ini disampaikan kutipan beberapa pernyataan dalam British Maritime Doctrine, edisi bulan Agustus 2011.
JDP 0-10: British Maritime Doctrine,
August 2011
Maritime power is:
The
ability to project power at sea and from the sea to influence the behaviour of
people or the course of events
Naval Presence :
Our
presence in the first place: engagement without entanglement may be a
sufficient demonstration of intent and deterrence to prevent the need for final
engagement
COMPONENTS OF BRITISH MARITIME FIGHTING POWER
Fighting
Power is the ability to fight and achieve success in operations. It is made up
of an essential mix of 3 inter-related components:
a.
Conceptual : the thought process
providing the intellectual basis and theoretical justification for the
provision and employment of armed forces.
b. Moral : the ability to get people to fight,
individually and collectively.
c.
Physical: the means to fight – balanced, agile maritime forces at readiness and
with warfighting at their core
THE MORAL COMPONENT – THE WILL TO FIGHT AND WIN
The
enduring spirit derived from our people’s loyalty to their ship, unit or team
sustained by high professional standards and strong leadership, that gives us
courage in adversity and the determination to fight and win.
You
can build a new ship in 3 years but you can’t rebuild a reputation in under 300
years.
(
Royal Navy Ethos )
In the Falklands conflict, moral factor became a very determining power:
THE GREATEST BRITISH MILITARY CAMPAIGN
INDEPENDENTLY IN HISTORY
Although in the end the Argentinean fighter planes caused a great deal of victims and big loss to British, tens of them also became victims. Obviously, on paper, the Argentinean fighter planes were more superior that those possessed by British, however Argentine got no opportunity to demonstrate their superiority due to the factor of the abrupt changes in strategy and tactics. In another word, Argentine was not capable in utilizing the opportunity of its geographical advantageous factor.In addition, the moral advantageous factor was not materialized either as expected. It was true that the effort to seize back the Falklands for the Argentinean people became one of the national goals and died in “Islas Malvinas” was a heroic action. However, the public opinion upon the government administration of the Argentinean military junta was so bad in such a way, that from the moral point of view the Argentinean people gave less support.On the contrary for British, the moral factor was even built up and materialized and became a very determining power. The mobilization of British military power to Falklands at a distance of approximately 8000 miles from their homeland, including the execution of direct air raid “Black Buck Operation” classified as being too determined, was a very brave decision in a critical condition.This is in line with the Sub Tzu’s teaching, “In critical time, a troop leader shall act just like a man climbing a certain peak by using a ladder, and then kicking his ladder backward down. This was the thing that motivated the British combating spirit in Falklands, and brought them into a victory after a 74-day battle.