Semua orang mendambakan kebahagiaan, tetapi tidak semua orang memahami apa
sebenarnya kebahagiaan itu. Jika kebahagiaan diibaratkan sebagai suatu
benda yang memiliki bentuk, ukuran dan warna tertentu, maka setiap orang yang
mendambakan kebahagiaan harus mengenali benda tersebut sebelum berusaha mencari
dan menemukannya untuk dimiliki. Jika mereka belum mengenali benda
tersebut, tentu saja pencariannya akan sia-sia belaka. Untuk mengenali
kebahagiaan yang diibaratkan sebagai suatu benda tersebut diperlukan
penjelasan, atau katakanlah suatu teori tentang kebahagiaan.
Setelah
memahami ' teori kebahagiaan ', baru bisa berusaha mencari dan
menemukannya. Kata-kata ' mencari dan menemukannya ' mengandung arti
suatu usaha keras yang dilakukan agar mendapatkannya. Dan mengingat
kebahagiaan bukan suatu benda, melainkan suatu kondisi kejiwaan, maka usaha keras
yang dimaksud di atas bukanlah bekerja keras untuk mengumpulkan kekayaan, lalu
dengan kekayaan yang dimiliki bisa digunakan untuk membeli kebahagiaan.
Kebahagiaan tidak bisa dibeli. Cara mendapatkannya dengan usaha keras, yang
dimaksud adalah praktek dalam kehidupan sehari-hari, sesuai praktek / jalan
yang ditempuh menuju kebahagiaan. Praktek dalam kehidupan sehari-hari dapat
dipandang sebagai suatu latihan, yaitu suatu latihan yang dilakukan
terus-menerus secara kontinyu.
Teori tentang
Kebahagiaan
Sejak
zaman sebelum Masehi sampai zaman sekarang ini, banyak sekali teori maupun
filosofi tentang kebahagiaan. Dan pada dasarnya semua agama-agama yang ada di
dunia juga mengajarkan pengetahuan tentang kebahagiaan, dan bahkan bertujuan
agar para pemeluknya mencapai hidup bahagia selama di dunia maupun setelah di
akhirat. Beberapa teori tentang
Kebahagiaan disampaikan antara lain berikut ini.
Pertama,
teori kebahagiaan yang berasal dari ajaran flisuf Yunani Epicurus (341-270 SM ), yaitu ajaran tentang Hedonisme. Filsafat Hedonisme sendiri
pertama kali diajarkan oleh Aristippus dari Kirene, murid dari Socrates.
Hedonisme mengajarkan bahwa setiap orang berhak melakukan segala daya upaya
untuk memaksimalkan kesenangan, atau mencapai kelezatan duniawi, sepanjang daya
upaya yang dilakukan itu tidak merugikan orang lain. Epicurus mengajarkan bahwa kebahagiaan itu
bisa dicapai bila seseorang menjalani kehidupan di dunia dan berusaha menikmati
kelezatan duniawi yang tanpa resiko. Kebahagiaan tidak tergantung kepada
kesenangan memiliki kekayaan, harta benda, anak istri, maupun status sosial.
Epicurus sendiri menjalani kehidupan yang sederhana, dan tidak kawin. Namun di
zaman modern ini ajaran hedonisme dimaknai lain, tidak lepas kaitannya dengan
upaya mencapai kesejahteraan. Hedonism, a happy life maximizes
feelings of pleasure and minimizes pain. Hedonisme, suatu kehidupan
yang bahagia memaksimalkan perasaan
senang dan meminimalkan rasa sakit.
Ke dua, Teori Keinginan atau Desire Theory. Teori ini dikembangkan oleh James Patrick Griffin,
seorang filsuf Amerika dan Professor di Universitas Oxford. Teorinya dipandang
lebih baik dari hedonisme. Teori Keinginan menyatakan bahwa ‘happiness is a
matter of getting what you want ‘, bahwa kebahagiaan adalah soal mendapatkan
apa yang anda inginkan (Griffin, 1986). Teori Keinginan berakar dari Filsafat
Keinginan yang juga sudah menjadi topik ajaran para filsuf Yunani kuno seperti
Socrates dan Aristotle, dan kemudian di abad pertengahan juga dibahas oleh Rene
Descarte, Hume, Hegel, dan lain-lainnya. Teori Keinginan ini sebenarnya
bertentangan dengan ajaran dalam Buddhisme, yang memandang keinginan manusia
itu sebagai akar dari keburukan.
Ke tiga, Teori Daftar Obyektif atau Objective List
Theory. Teori ini menempatkan kebahagiaan ke daftar yang benar-benar berharga (
truly valuable things ) di dunia nyata. Daftar
tersebut termasuk prestasi
karir, persahabatan, bebas dari penyakit dan rasa sakit, kenyamanan material, semangat
masyarakat, keindahan, pendidikan, cinta, pengetahuan,
dan hati nurani yang baik. Teori ini disampaikan oleh filsuf wanita AS yang
juga professor di University of Chicago, Martha Craven Nussbaum.
Tiga teori
kebahagiaan yang disampaikan di atas dirangkum dan dikembangkan menjadi
Authentic Happiness Theory oleh
Dr.Martin E.P.Seligman, Professor psikologi di University of Pennsylvania. “Our theory holds that there are
three distinct kinds of happiness: the Pleasant Life (pleasures), the Good Life
(engagement), and the Meaningful Life.( authentichappiness.sas.upenn.edu).
Definisi
Kebahagiaan
Sebagaimana
telah ditulis pada awal bab ini, sebelum mencari dan berusaha menemukan
kebahagiaan, kita perlu mengetahui lebih dulu apa sebenarnya yang dimaksud
dengan kebahagiaan, apa yang dimaksud dengan hidup bahagia? Dan di atas sudah
disampaikan beberapa teori tentang kebahagiaan. Setiap orang memiliki pendapat
sendiri dan bisa memilih diantara teori-teori itu yang sesuai, atau merangkum
dari teori-teori di atas itu ditambah dengan pengalaman sendiri, kemudian
mendefinisikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai. Apakah
cukup misalnya, rangkuman sebagaimana dilakukan oleh Profesor Dr. Martin
E.P.Seligman dengan Authentic Happiness-nya?
Seorang
peneliti positif psikologi, Sonja Lyubormirsky dalam buku karangannya yang
terbit pada tahun 2007, The How of Happiness, mendefinisikan kebahagiaan
sebagai berikut: “the experience of joy, contentment, or positive well-being,
combined with a sense that one’s life is good, meaningful, and worthwhile.” Dan berdasarkan hasil
penelitiannya, Sonja Lyubomirsky menyimpulkan bahwa tercapainya kebahagiaan bagi seseorang tergantung
dari 3 faktor, yaitu 50 % ditentukan oleh gen ( faktor keturunan), 10 %
ditentukan oleh keadaan lingkungan kehidupannya, dan 40 % ditentukan oleh
aktifitas / kegiatan yang dilakukan sehari-harinya.
Ilmu Bahagia
Di dalam ajaran Kejawen juga banyak teori
maupun filsafat tentang kebahagiaan dan bagaimana cara mencapainya. Antara lain
filsafat yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryo Mataram(Ki ASM). Dan di dalam buku
ini disampaikan filsafat dari Ki ASM tentang Ilmu Bahagia. Keunikan dari Ki
ASM, walaupun beliau juga penganut salah satu agama, namun di dalam ajaran
filsafatnya menciptakan istilah-istilah sendiri, lepas dari istilah-istilah
yang sering digunakan di ajaran agama, demikian pula tidak menggunakan
istilah-istilah yang sering terdapat di aliran kebatinan maupun aliran-aliran
filsafat.
Ki ASM menyatakan pendiriannya:” Aku orang Jawa, dan aku memulai
Kejawen ini sebagai buah pikiranku sendiri, bukan orang lain. Kutulis hal
Kejawen, hal Javanisme yang sangat sederhana dan singkat. Kejawenku ini bukan
agama, dan bukan kebatinan, hanya sepotong filsafat tentang kehidupan yang
sederhana, tanpa gangguan dari fikiran-fikiran yang gaduh riuh, kabur dan
menyesatkan. Aku melihat semua orang di sekitarku, yang berbeda agama, berbeda
aliran spiritual, ras dan kebangsaan, pakaian dan istiadat, tingkat pendidikan,
kedudukan dan derajat, sebagai sesama umat manusia. Yang kulihat bukan kulit
atau bungkus badannya, tapi kemanusiaannya yang sejati. Aku dapat menghormati
segala agama, aliran kebatinan, kecermelangan otak, dan segala apa yang
melengkapi diri”.
Dan memang, ilmu bahagia yang diajarkan
oleh Ki ASM sangat sederhana.Menurut Ki ASM, dalam kehidupan ini yang ada hanya
susah dan senang. Orang senang kalau tercapai keinginannya, kemauannya,
cita-citanya, angan-angannya. Sedangkan orang susah karena tidak tercapai
tujuan angan-angannya dan kemauannya. Angan-angan, cita-cita, tujuan dan
kemauan diibaratkan seperti karet, bisa mulur (memanjang) atau
mungkret/mengkerut (memendek). Kehidupan adalah mulur-mungkret, susah-senang
silih berganti.
Jika ada orang mengatakan, bahwa sepanjang
hidupnya senang terus, orang itu pasti berbohong. Demikian juga jika ada yang
mengatakan, selama hidupnya susah terus, pasti juga berbohong. Tidak ada
manusia yang selama hidupnya senang terus, walaupun dia dari keluarga
kaya-raya, atau dia seorang raja. Demikian juga tidak ada manusia yang selama
hidupnya susah terus, walaupun dia orang miskin atau peminta-minta. Ada
waktu-waktu senang dan ada waktu-waktu susah. Mungkin saja ada yang waktu
senangnya berlangsung lama, dan waktu susahnya tidak lama. Senang-susah silih
berganti, periode waktu senang-susah yang mungkin berbeda bagi tiap-tiap orang. Demikian juga persoalan yang menyebabkan senang atau susah juga berbeda. Apapun persoalan yang berbeda-beda itu, apa yang dirasakan sama : Senang - Susah.
Kalau hanya ada senang dan susah, lalu yang
dimaksud kondisi bahagia itu bagaimana? Ki ASM menjelaskan, bahwa bahagia
adalah kondisi Tidak Senang dan Tidak Susah, atau kondisi Tenteram. Ketika jiwa
tenteram, itulah bahagia. Tidak senang dan tidak susah, tetapi bukan berarti
pasif, melainkan aktif, semangat, bergairah, dan banyak bersyukur.
Filsafat
atau konsep kebahagiaan Ki ASM dapat digambarkan berikut ini.
Konsep Bahagia
Pada gambar di atas kondisi susah-senang digambarkan berupa garis
naik-turun. Pada suatu periode waktu mengalami susah ( 2,4,6), periode waktu berikutnya senang
(1,3,5), demikian sepanjang
hidup manusia tidak lepas dari susah dan senang. Seseorang dikatakan telah
meraih bahagia yang permanen digambarkan berupa garis
naik-turunnya di kolom tengah ( 7 ), kolom Tidak Senang Tidak Susah atau kondisi
Tenteram / Bahagia.
Jalan Menuju Bahagia
Banyak cara
yang bisa dilakukan dalam menempuh jalan menuju bahagia. Yang jelas semua agama
mengajarkan jalan menuju kebahagiaan. Dengan menjalani kehidupan berpegang
teguh kepada tuntunan agama masing-masing, berarti kita sudah berada di jalan
menuju bahagia. Semua manusia, tidak peduli apakah dia itu rakyat jelata yang
miskin, pengusaha yang sukses, pejabat pemerintahan maupun para penguasa dan
raja-raja, laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama untuk meraih
kebahagiaan. Kebahagiaan harus diusahakan sendiri. Hal ini disampaikan juga
dalam konsep bahagianya Ki ASM, bahwa manusia itu sendiri yang harus berusaha,
karena keinginan, cita-cita, dan kemauan berasal dari dirinya sendiri.
Baca lebih lanjut di buku ini:
Baca lebih lanjut di buku ini:
While many of the causes of breast cancer are inherited, or out of your control, some of what causes breast cancer is easily controlled by you.
Stress and illness have a relationship, and the question of how does stress affect health has been raised in many countries. Stress and cancer are no exception.
Women who experience trauma or who live under chronic intense stress are far more likely to succumb to breast cancer. Stress is a major factor for getting breast cancer.
And the good news is that, if you learn good stress management techniques, you can minimize the other breast cancer causes. Learning to handle stress and tension actually makes all those other causes of cancer less important.
Keeping a positive attitude, living a healthy lifestyle (including getting exercise), and learning to relax--can all help you prevent breast cancer and, even overcome breast cancer! ( www.stressaffect.com )