Seorang teman bertanya kepada saya : " Patutkah apabila Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan R.I dan Presiden R.I yang pertama, disebut Filsuf ? "
Saya menjawab, tentunya berdasarkan persepsi saya pribadi : " Menurut pendapat saya, pertama kali Bung Karno adalah seorang Filsuf, ke dua baru seorang Negarawan. Sebagai filsuf, Bung Karno termasuk salah satu Filsuf Besar di dunia. Dan memang ironis atau mungkin bisa dibilang tragis, karena posisi ke-negarawan-nya berakhir dalam situasi politik yang kurang mengenakkan, dan hal itu disebabkan karena posisi ke-filsufan-nya. "
Rupanya teman saya itu masih ragu-ragu, belum jelas, sehingga saya mencoba menerangkan lagi pendapat saya :
" Ingin tahu sebabnya ? Tidak lain, karena pada pemerintahan Bung Karno, orang-orang disekelilingnya mengangkatnya terlalu tinggi - sebagai Pemegang Kekuasaan Negara R.I Tertinggi Seumur Hidup - ini adalah melampaui batas-batas kekuasaan sesuai yang digariskan / tersirat dalam falsafahnya sendiri : Pancasila. Posisinya sebagai Negarawan, sebagai Presiden R.I, jatuh atau berakhir merupakan bukti kebenaran falsafahnya. Jadi sebenarnya, akhir posisi negarawan-nya merupakan pembenaran bagi posisi kefilsufan-nya. "
" Tetapi, apa alasannya sehingga Bung Karno engkau sebut Filsuf Besar ? " tanya teman saya.
Hm. Mungkin teman saya belum begitu paham soal-soal menyangkut falsafah, sehingga saya berusaha menjelaskan lagi dengan bahasa sederhana.
Begini, Bung. Filsuf itu, pertama kali adalah seorang manusia. Boleh saja dia, makannya kentang, roti dan keju. Yang jelas, dia juga lapar seperti kita. Sehingga mungkin saja makanannya nasi, jagung, ketela pohon, atau pisang.
Atau, bisa juga filsuf itu hanya memakan sayur-sayuran saja, karena belum tahu enaknya makan sate dan nasi goreng. Misalnya seperti beberapa filsuf Yunani Kuno, antara lain Pythagoras dan Epikurus.
Pythagoras, dia hanya makan sayuran, dan entah kenapa berpantang makan kacang. Pada masanya, tidak mudah untuk bisa menjadi murid Pythagoras, syaratnya berat : tidak boleh bicara selama 5 tahun ( semacam tapa bisu ). Bila lulus dari ujiannya itu baru bisa diangkat menjadi muridnya.
Pythagoras, dia hanya makan sayuran, dan entah kenapa berpantang makan kacang. Pada masanya, tidak mudah untuk bisa menjadi murid Pythagoras, syaratnya berat : tidak boleh bicara selama 5 tahun ( semacam tapa bisu ). Bila lulus dari ujiannya itu baru bisa diangkat menjadi muridnya.
Epikurus, dia mengajarkan hedonisme, yaitu bahwa yang penting bagi manusia dalam hidup ini, agar mencapai kebahagiaan, ialah dengan cara ' menikmatikelezatan duniawi '. Namun begitu, Epikurus sendiri hidupnya sangat sederhana, dan dia juga tidak punya istri.Ajaran Epikurus ini banyak disalah-pahami, karena sesungguhnya yang diajarkan ialah cara mencapai kebahagiaan dengan ' menikmati kelezatan duniawi yang tanpa resiko '.
Dalam beberapa tulisan mengenai Epikurus banyak dikesankan seolah-olah dia tidak percaya adanya Tuhan - dikenal dari paradoks ketuhanan yang dibuatnya - sebenarnya tidak demikian. Paradoks-paradok-nya adalah salah satu metode yang digunakannya untuk mengajarkan berpikir kritis. Epikurus adalah salah seorang yang juga mengajarkan jalan kebajikan dan jalan kebenaran.
Ke dua, filsuf itu mesti manusia yang berpikir. Namun berpikir bukan sembarang berpikir. Semua manusia berpikir, kecuali orang yang menderita sakit syaraf, tetapi tidak semua orang bisa disebut filsuf. Filsuf berpikirnya ibarat orang menyelam di laut, sangat dalam sekali menyelamnya. Atau ibarat orang terbang, sangat tinggi sekali terbangnya. Setinggi ' Voyager Gold Record ' yang diterbangkan oleh NASA pada dekade 1970-an, dalam rangka mengimplementasikan idenya fisikawan AS yang tersohor, Carl Sagan, yang percaya bahwa makhluk cerdas angkasa luar itu ada, dan dia berusaha berkomunikasi dengan mereka.
Filsuf berpikir sedalam-dalamnya untuk mencari ' kebenaran ' soal-soal berkaitan dengan kehidupan manusia, untuk digunakan sebagai solusi dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan yang kadang-kadang ruwet dan membingungkan. Setelah berpikir, mencari, dan menemukan, dia pasti berkarya. Karyanya ini yang terpenting.
Jadi, syarat ke tiga, filsuf itu mesti berkarya. Tapi ingat, orang membuat rumah juga berkarya. Orang membangun gedung, jalan-jalan, dan jembatan-jembatan, juga berkarya. Tetapi mereka yang membuat dan meninggalkan karya seperti itu tidak disebut filsuf.
Karya bagi seorang filsuf, adalah pendapat-pendapatnya, adalah hasil pemikiran atau wawasannya yang sempat tercatat. Tidak menjadi soal apakah pendapat atau pernyataan-pernyataannya itu dibukukan atau tidak. Yang penting, karyanya itu hidup, seakan-akan berjiwa, atau menjadi jiwa yang bisa menghidupi ruh-ruh kegiatan manusia, sekelompok manusia, atau bangsa.
" Selain yang engkau sebutkan tadi, apakah ada syarat lain bagi seorang filsuf ? " tanya teman saya.
Syarat lain tidak ada, kalaupun ada, lebih tepat disebut situasi dan kondisi kefilsufan. Atau, gejala-gejala kefilsufan ! Yang saya maksud begini, bahwa seorang filsuf diakui eksistensinya di masyarakat bukan karena soal dia itu pihak yang dianggap musuh atau kawan, bukan karena soal kalah atau menang, dan juga bukan karena soal benar atau salah. Kebenaran itu relatif, kadang-kadang dibatasi dimensi ruang dan waktu.
Contohnya, misalnya Phytagoras yang disinggung di atas. Dia dikenal sebagai pemikir dan juga ahli matematika. Sebagian kaumnya menganggapnya sebagai nabi. Dia percaya adanya kelahiran kembali atau ' tumimbal lahir '. Namun sebagian kaumnya ada yang menganggap Phytagoras sudah terjerumus ke mistik, ketika ia mengatakan bahwa ' dunia ini adalah angka. '. Penjelasannya tentang angka-angka memang agak sulit dipahami.
Kemudian Sokrates, filsuf Yunani yang termasyhur itu. Dia bahkan menjalani hukuman mati, dipaksa minum racun, karena pendapat dan pemikirannya yang ' mendahului zaman ' dianggap bisa merusak kejiwaan kaum muda, serta membahayakan eksistensi kerajaan.
Dan pernah mendengar nama Nietzche, filsuf ' dengan palu ' yang menggebrak pendeta-pendeta di Jerman tanpa ampun. Nietzche itu, yang ajaran-ajarannya banyak menentang dogma agama, mungkin dipandang lebih besar dosa dan kesalahannya, namun ajaran-ajarannya masih ' hidup ' sampai sekarang. Ajaran-ajarannya bahkan menjadi sumber inspirasi bagi filsuf-filsuf modern pada masa sesudahnya.
Foto Bung Karno di rumah kediaman di Blitar. Foto di atas diyakini mengandung mistis, yaitu dari arah mana saja memandang foto itu, jari telunjuk Bung Karno selalu mengikuti mengarah ke orang yang memandangnya. Penulis membuktikan sendiri, kenyataannya seperti itu.
Ajaran-ajaran para filsuf kadang-kadang halus dan samar, sehingga sulit dideteksi dengan daya pencerapan pikiran manusia. Oleh karenanya sering terjadi, mereka yang paling gigih menentang pendapat seorang filsuf, mereka yang paling buas dan liar hendak membinasakan pengikut atau ajarannya, ternyata dia sendiri penganutnya !
" Stop dulu. Engkau tadi bicara tentang Bung Karno. Bahwa Bung Karno pertama-tama adalah filsuf, apakah itu terkait dengan Pancasila hasil galiannya ? "
Benar. Tidak ada yang lain, memang terkait dengan Pancasila itu. Kita harus melihatnya itu sebagai filsafat. . Bahwa filsafat itu adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang bergerak dan menggerakkan. Jiwa yang hidup dan menghidupi itu sejak awalnya sudah ada di angkasa, termasuk angkasa di atas buminya Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan jiwa semacam itu. Namun ternyata Ir.Soekarno, tidak hanya mengetahui keberadaan jiwa itu, melainkan berhasil ' menangkapnya ' untuk dipersembahkan kepada bangsanya.
Ir. Soekarno menyadari betul, bahwa untuk menyatukan bangsa Indonesia yang tempat tinggalnya tersebar di ribuan pulau - lebih dari 17.500 pulau-pulau besar dan kecil - bukanlah pekerjaan mudah. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, tidak ada yang menandinginya dalam hal jumlah pulau-pulau yang dimilikinya. Disamping itu, rakyat Indonesia terdiri dari kelompok etnik atau suku bangsa, jumlahnya juga tidak main-main : lebih dari 300 suku bangsa. Bandingkan dengan jumlah negara di dunia, yang jumlahnya tidak lebih dari 200 negara.
Dan masing-masing suku bangsa memiliki bahasa dan adat kebiasaan yang berbeda-beda. Demkian pula, rakyat Indonesia terdiri dari penganut beberapa macam agama, dan atau aliran-aliran kepercayaan. Dan jumlah penduduknya ? Termasuk terbesar ke empat setelah China, India, dan Amerika.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka negara Indonesia memliki keunikan sendiri. Ir. Soekarno berpikir seolah-olah mendahului zamannya. Berpikir ke dalam, Falsafah Pancasila itu yang bisa mempersatukan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, Berpikir ke luar, ideologi Pancasila dengan lima sila-silanya yang menjadi satu kesatuan itu yang bisa ' dijual ke luar ', maksudnya : bahwa seluruh negara dan bangsa-bangsa yang ada di dunia akan lebih mudah ' menerima ' eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI, yang berlandaskan Pancasila sebagai Dasar Hukum Negara. Eksistensi NKRI tidak menjadikan ancaman apapun juga terhadap bangsa-bangsa lain di dunia !
Semua bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia : di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Autralia, adalah KAWAN KITA. Senasip dan sepenanggungan dengan kita, tidak ada bedanya. Suatu ketika nanti jika tiba masanya R.I. berhasil membangun kekuatan maritimnya sekuat Athena di waktu jayanya, dasar falsafah negara R.I. memberi jaminan bahwa itupun bukan menjadi ancaman bagi negara-negara lainnya.
Perlu diingat pula, Bung Karno, pada saat menemukan Pancasila, posisinya adalah sebagai tokoh politik yang belum mempunyai kekuasaan apa-apa. Bahkan sebagai tokoh politik, menghadapi penguasa waktu itu, selalu dikejar-kejar, dicurigai, dan dicari-cari kesalahannya. Bung Karno mengalami beberapa kali ditahan, dipenjara, bahkan dibuang ke tempat terpencil dijauhkan dari massanya.
Oleh sebab itu, Pancasila yang dikemukakannya, ibarat mutiara adalah mutiara yang masih murni. Sebab waktu dikemukakan dalam pidatonya yang terkenal, 1 Juni 1945, belum ada hal-hal yang mempengaruhinya selain dorongan dari semangat cita-cita kemerdekaan Indonesia. Belum ada pengaruh-pengaruh penghormatan dan sanjungan, yang kadang-kadang sangat berlebihan. Dan yang lebih penting lagi, belum ada pengaruh ' orang-orang dekatnya '.
Lalu apa hubungannya antara Pancasila dengan tugas filsafat, bahwa tugas filsafat dunia belum selesai ? Hal ini berkaitan dengan pandangan beberapa filsuf modern abad-20, yang percaya bahwa tugas filsafat sejak abad-20 sudah berakhir dan tidak ada sisanya.
" In a world dominated by information technology, philosophy would seem to lose out, it doesn't offer its wisdom in small manageable chunks. " ( Martyn Oliver, Hamlyn History : Philosophy, Great Britain 1997 ).
Memang kenyataannya sejak pertengahan abad-20 filosofi seolah-olah tenggelam, nyaris tidak ada suaranya, digantikan oleh ' gegap-gempitanya ' kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Berakhirnya tugas-tugas filsafat terutama disuarakan oleh Ludwig Wittgenstein ( 1889 - 1951 ) , yang mengatakan : " Satu-satunya tugas yang tersisa bagi
filsafat adalah analisis bahasa. ".
Hal senada disuarakan juga oleh Martin Heidegger ( 1889 - 1976 ), yang mengatakan bahwa tugas-tugas
filsafat sudah diselesaikan pada era Nietzsche ( 1844 - 1900 ).
Martin Heidegger justru tidak suka disebut filsuf, dia ingin disebut
sebagai Pemikir Bahasa / Sprachdenker. Baik Wittgenstein
maupun Heidegger kelihatannya terlalu prematur. Tugas-tugas filsafat
belum selesai.
Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa filsafat di abad-20 / 21 memasuki tahap baru : menyatukan filsafat / idealisme Barat dan
Timur. Dan untuk itu ' konsepnya ' sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia : Pancasila, Bahtera Nabi Nuh A.S. yang nyata.*) Bung Karno sendiri kemungkinan besar menyadari apa yang ditemukannya, hal itu salah satu hal yang mendorongnya berani bicara tegas di forum-forum dunia.
" Kita perlu meluruskan pandangan yang salah, " kata Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas dalam salah satu tulisannya, " Dan kita kurang rajin memberikan informasi ke luar. "
*)
Kisah tentang Bahtera Nabi Nuh A.S, yang diberitakan di Kitap Suci, mengandung makna simbolisme yang menggambarkan suatu keadaan zaman. Terjadinya banjir besar
disebutkan karena air yang tercurah dari langit, dan air yang memancar dari
bumi.
- Air yang tercurah dari langit,
bermakna nilai-nilai ajaran dan filosofi yang berasal dari Wahyu Illahi /
Agama.
- Air yang memancar dari bumi,
bermakna nilai-nilai ajaran dan filosofi yang berasal dari hasil pemikiran
manusia / para filsuf , yang berdasarkan akal pikiran semata.
Nilai-nilai ajaran ini banyak berperan dalam mendorong perkembangan yang
menakjubkan dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dan mengapa dikatakan sebagai suatu " banjir besar " yang berkonotasi bencana bagi hidup kemanusiaan ?
Pertama,
bahwa banyaknya nilai-nilai ajaran dari langit pada satu sisi menimbulkan
banyak sekali perbedaan pendapat, tidak jarang dari perbedaan-perbedaan
pendapat itu menimbulkan perkelahian, bahkan juga perang. Kedua,
perkembangan sains dan teknologi yang menakjubkan telah mewarnai seluruh
bidang-bidang kehidupan manusia modern, dan dominasi dari sains dan teknologi
modern tersebut seolah-olah telah menenggelamkan filsafat / nilai-nilai moral
hidup kemanusiaan.
Dengan
demikian banjir besar bermakna sangat banyaknya nilai-nilai kehidupan manusia
di dunia – banjir nilai-nilai – yang secara garis besar dapat digolongkan
menjadi dua bagian besar, yaitu berupa
nilai-nilai idealisme Barat dan nilai-nilai idealisme Timur. Dua nilai
idealisme Barat dan Timur saling membutuhkan dan saling melengkapi. Bila hanya
memakai yang satu dan menolak satu lainnya, dapat diibaratkan tenggelam dalam
banjir besar. Dan
Pancasila adalah sintesa dari dua ideologi besar itu, diibaratkan sebagai Bahtera yang bisa
menyelamatkan kehidupan manusia.