Dalam peperangan laut, fleet in being atau ‘ Armada Siaga ‘ adalah strategi yang dilakukan dengan menyiagakan gugus tugas atau armada tempur di suatu pangkalan, sewaktu-waktu siap digerakkan, dan dengan kesiagaannya itu tetap dapat mempengaruhi pihak lawan agar tidak menyerang atau bila tetap menyerang akan mendapat perlawanan hebat.
Musuh yang akan menyerang tentunya telah menempuh
perjalanan jauh, dan dalam kondisi lelah, sedangkan pihak yang menyiagakan
armada di pangkalan dalam kondisi segar menunggu kedatangan lawan, sehingga
siap bertempur untuk mengacaukan formasi lawan.
Strategi fleet in being ini biasa dilakukan oleh kekuatan kecil melawan
kekuatan yang lebih besar, dan
berdasarkan sejarah perang laut strategi ini hanya efektif dilakukan di
perairan yang banyak pulau-pulaunya / perairan kepulauan.
Strategi fleet in being dapat menjadi bagian dari
strategi ‘ Sea Denial ‘, yaitu menggunakan laut untuk kepentingan sendiri dan
mencegah penggunaannya oleh pihak lawan.
Fleet in being bisa dikatakan lebih dekat dengan Sea Denial dan bukan Sea
Control ( Pengendalian Laut ), karena dalam pelaksanaan fleet in being
diasumsikan semua kekuatan armada berada di pangkalan tapi dalam kondisi siap
tempur, dan tidak keluar pangkalan, menunggu waktu yang tepat untuk melawan
musuh yang menyerang, yaitu ketika musuh sudah kelelahan dalam hal mana pada
kondisi tersebut banyak kelengahan-kelengahan.
Asal mula nama / istilah Fleet in Being
Nama dan istilah " Fleet In Being " digunakan pertama kali oleh Lord Torrington, Komandan Task Group Royal Navy di Selat Channel, pada tahun 1690. Pada saat itu negara Inggris dalam kondisi perang dengan negara Perancis. Lord Torrington menyiagakan armadanya di pangkalan dalam kondisi siap tempur, dan berusaha menghindari pertarungan yang menentukan mengingat kekuatan armadanya lebih kecil, sedangkan pihak lawan / Perancis memiliki kekuatan yang lebih besar.
Kesiagaan armadanya di pangkalan justru mampu menghentikan serangan-serangan kapal-kapal Perancis, dan mampu membatasi gerakan armada Perancis, karena pihak penyerang dalam hal ini Perancis menjadi ragu-ragu untuk untuk menyerang secara frontal, khawatir pihak lawan telah menyiapkan jebakan-jebakan untuk menghancurkan armadanya.
Candi Prambanan, 1 Januari 2015
Dalam hal ini negara Perancis kemungkinan belajar dari pengalaman sejarah, dan tidak ingin mengalami kehancuran armadanya seperti yang pernah dialami oleh negara Spanyol ketika menyerang Inggris pada tahun 1588. Ketika itu raja Spanyol, Philip, mengerahkan seluruh kekuatan armada perangnya menyerang Inggris, berusaha menaklukkan Inggris yang merupakan saingan utamanya dalam perdagangan. Kekuatan armada Spanyol yang besar dihadapi oleh pihak Inggris dengan kekuatan yang lebih kecil, namun mampu membuat kocar-kacir armada Spanyol. Dalam perang Inggris – Spanyol yang terjadi pada tahun 1588 itu armada Spanyol mengalami kehancuran total.
Negara Inggris termasuk negara kepulauan, walaupun jumlah pulau-pulaunya tidak sebanyak negara Indonesia. Namun doktrin Fleet in Being yang dipraktekkan oleh Lord Torrington terbukti mampu membuat lawannya jerih. Berbeda dengan Sekutu dalam hal ini Komando ABDA ( America, British, Dutch, Australia ) ketika berperang melawan Jepang. Pertempuran laut terjadi di perairan kepulauan, namun Komando ABDA tidak memanfaatkan keunggulan geografi yang dimilikinya, dengan kata lain ABDA mengabaikan doktrin Fleet in Being, akibatnya Armada Tempur ABDA yang dipimpin oleh Rear Admiral Karel Doorman mengalami kehancuran total dalam Perang Laut Jawa yang puncaknya terjadi pada tanggal 27 Februari 1942.
Candi Prambanan, 1 Januari 2015
“The
result was so fatal. At the battle occurring for approximately seven hours,
from 16.30 till 23.30, five Allies warships (De Ruyter, Java, Jupiter, Elektra
and Kortenaer) were badly damaged and got sunk together with their
Commander-in-Chief, Karel Doorman.
The other ships were able to run away, but chased by the Japanese fleet,
and several days afterwards Exeter,
Houston, Perth and 4 other destroyers were sunken. 12 out of 16 warships were
destroyed and sunken and only 4 ships succeeded in running away to Australia.
In Japan side, none of its 17 ships underwent severe damage and only 1 ship
suffered from light damage. “
Selain
mengabaikan doktrin Fleet in Being, Komando ABDA juga mengabaikan doktrin
perang laut yang diajarkan oleh Julian Corbett dalam bukunya ‘ Some Principles
of Maritime Strategy ‘, bahwa dalam perang laut konsentrasi maksimum kekuatan
harus dihindari. Julian Corbett berbeda pandangan dengan Clausewitz yang menekankan
pengerahan kekuatan maksimum untuk menghancurkan kekuatan lawan.
New Release-Kindle eBook by RADM ( Ret ) Robert Mangindaan
Fleet in being sudah dipraktekkan lebih dulu oleh bangsa bahari Nusantara.
Sebagaimana telah diketahui, Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis, dan penguasa Demak mengirim ekspedisi pada tahun 1511 dan tahun 1512 untuk membebaskan Malaka, namun Naval Projection yang dipimpin oleh Pate Unus tidak berhasil mengusir bangsa Portugis. Bangsa Portugis justru semakin mengembangkan perdagangannya masuk ke wilayah Nusantara bagian Barat dan juga ke Timur sampai ke Maluku. Di Barat, Portugis berhasil bekerja sama dengan penguasa Pasundan, dan penguasa Pasundan menyetujui keinginan bangsa Portugis untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Candi Prambanan, 1 Januari 2015
Rencana bangsa Portugis mau mendirikan benteng di Sunda Kelapa diketahui oleh penguasa Cirebon, Fatahilah atau Faletehan. Fatahilah menentang rencana tersebut, karena sejak bangsa Portugis menguasai Malaka, perdagangan di Jawa terhambat dan banyak saudagar-saudagar Jawa yang bermukim di Malaka mengalami kerugian besar. Oleh sebab itu pada tahun 1526 Fatahilah mengirim armadanya ke Banten, dan merebut Banten dari kekuasaan kerajaan Pasundan. Setelah Banten ditaklukkan, Fatahilah menyiagakan armada kapal-kapalnya di Banten dan perairan Sunda Kelapa. Armada siaga yang disiapkan oleh Fatahilah bertujuan untuk menggagalkan rencana Portugis mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Pada tahun 1526 – 1527, dari Malaka bangsa Portugis mengirim ekspedisi sampai tiga kali menuju Sunda Kelapa, namun semua ekspedisi Portugis itu tidak berhasil masuk ke perairan Sunda Kelapa karena dicegat oleh armadanya Fatahilah. Ekspedisi-1 dan ekspedisi-2 Portugis kembali ke Malaka dengan tangan hampa. Tidak puas dengan kegagalan ekspedisinya, Portugis mengirim ekspedisi-3, namun ekspedisi-3 justru kocar-kacir karena terserang badai di tengah perjalanan, dan beberapa kapalnya tenggelam sebelum sampai ke Sunda Kelapa. Sejak kekalahannya melawan Fatahilah pada tahun 1527 itu bangsa Portugis seakan-akan kapok dan tidak mau lagi berdagang di Jawa, namun justru mengembangkan kekuasaannya di Nusantara bagian Timur, antara lain berhasil mendirikan benteng di pulau Ternate.
Candi Borobudur, 2 Januari 2015
Selain bangsa Portugis, bangsa Spanyol juga sudah menjalin hubungan perdagangan dengan para penguasa di Maluku Utara, dan Spanyol berhasil mendirikan benteng di pulau Tidore. Dua kesultanan di Ternate dan Tidore saling bersaing dan berebut pengaruh untuk menguasai perdagangan di pulau-pulau lainnya. Hal ini sejalan dengan persaingan antara Portugis dan Spanyol yang juga saling berebut pengaruh.
Kedudukan Portugis di Ternate mulai goyah ketika terjadi kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya Sultan Ternate. Putra Sultan, Baabullah tidak terima, dan menuduh prajurit Portugis sengaja membunuh ayahnya. Baabullah menggerakkan seluruh rakyat Ternate untuk mengepung benteng Portugis, dan mengusir kapal-kapal Portugis dari Ternate. Prajurit dan orang-orang Portugis disandera di dalam benteng, dan benteng dikepung oleh prajurit-prajurit Ternate sampai kurang lebih 5 tahun. Setelah orang-orang Portugis menjadi lemah, mereka dibebaskan dan benteng dikuasai oleh Baabullah dan dijadikan istananya, Gamalama.
Relief Kapal Layar di Candi Borobudur
Baabullah meneruskan ayahnya menjalankan pemerintahan di Ternate tanpa campur tangan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Ternate menjadi kesultanan yang besar dan maju. Wilayah kekuasaannya meliputi 72 pulau-pulau di Maluku Utara, kecuali pulau Tidore. Sultan Baabullah berhasil menjadikan Ternate sebagai pelabuhan bebas, sehingga banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang mancanegara.
Selain berhasil mengusir bangsa Portugis, Sultan Baabullah juga membatasi jalur-jalur pelayaran yang boleh dilewati oleh kapal-kapal dagang Spanyol, dalam menjalin perdagangan dengan Tidore. Dengan kata lain, Baabullah sudah menerapkan strategi Sea Denial. Dan keberhasilan dalam membatasi gerakan kapal-kapal Spanyol didukung pula dengan kesiagaan armadanya ( Fleet in Being ) di sejumlah pulau-pulau yang menjadi kekuasaannya.
Dari pembahasan di atas diketahui bahwa berdasarkan catatan sejarah, strategi maritim di zaman modern antara lain Fleet in Being dan Sea Denial, sudah dipraktekkan oleh bangsa bahari Nusantara. Penerapan dua macam strategi itu terbukti berhasil membuahkan kemenangan dari peperangan laut antara kekuatan kecil melawan kekuatan yang lebih besar. Fleet in Being selalu memberi pengaruh membatasi gerak/manuver kapal-kapal lawan ( Sea Denial ). Sedangkan Sea Denial itu sendiri tidak mungkin dilakukan di laut bebas, melainkan diperairan kepulauan yang banyak pulau-pulau dan jalur-jalur pelayarannya. Sehingga tidak berlebihan bila kita berpendapat strategi Fleet in Being dan Sea Denial berasal dari negara kepulauan Nusantara.
Fleet in Being di zaman modern.
Dihadapkan dengan perkembangan teknologi persenjataan modern, utamanya pesawat-pesawat pembom dan misil, apakah Fleet in Being masih efektif dipraktekkan ? Sejarah serangan Jepang terhadap pangkalan US.Navy di Pasifik – Pearl Harbor – membuktikan bahwa konsentrasi kekuatan armada di satu pangkalan justru sangat berbahaya. Dalam serangan terhadap Pearl Harbor, sasaran utama Jepang adalah ingin menghancurkan kapal-kapal induk AS dan kapal-kapal tempurnya ( Aircraft Carrier dan Battleships ). Namun justru pada saat terjadinya serangan pada tanggal 7 Desember 1941, semua kapal induk AS dan sebagian besar kapal-kapal tempur jajaran Armada Pasifik AS sedang tidak berada di pangkalan, melainkan berada di laut lepas. Oleh karenanya serangan terhadap Pearl Harbor yang mengakibatkan korban dan kerugian besar di pihak AS, namun tujuan Jepang tidak tercapai.
“The Japanese attack to Pearl Harbor had caused a tremendous loss for the US side. Twenty-one ships of the U.S. Pacific Fleet were sunk or damaged. Aircraft losses were 188 destroyed and 159 damaged, the majority hit before the had a chance to take off. American dead numbered 2,403. That figure included 68 civilians, most of them killed by improperly fused anti-aircraft shells landing in Honolulu. There were 1,178 military and civilian wounded.
However, the dream of Yamamoto to imitate
the victory of Togo in Tsushima was still far away from the expectation. The Japanese success was overwhelming, but
it was not a strategic victory. They failed to damage any American
aircraft carriers. It was because by a stroke of luck, some
U.S. aircraft carriers having the base in Pearl Harbor during the time of
attack were still available at the sea.”
Dalam Perang Falklands pada
tahun 1982 antara Inggris-Argentina, pihak Argentina juga melaksanakan strategi
Fleet in Being. Namun Fleet in Being yang dilakukan Argentina justru
menyebabkan kelumpuhan armada angkatan lautnya, antara lain karena pihak
Inggris mendeklarasikan zona perang 200 mil, dan zona perang itu dijaga ketat
oleh kapal-kapal selam nuklir Inggris, disamping penjagaan oleh kapal-kapal
perang pembawa helikopter dan pesawat Sea Harrier. Kapal selam Argentina – Santa Fe – tenggelam
disebabkan serangan helikopter anti kapal selam milik Inggris, sedangkan kapal penjelajah Argentina –
General Belgrano – tenggelam terkena torpedo Mark VIII yang dilepas dari kapal
selam Inggris. Tenggelamnya General
Belgrano sempat menimbulkan kontroversi, karena ketika terkena torpedo
posisinya masih 36 mil di luar zona perang.
Namun tindakan Inggris akhirnya bisa diterima karena haluan General
Belgrano mengarah ke kapal Inggris dan posisinya sudah berada dalam jarak
jangkau senjata yang dimilikinya, sehingga sudah menimbulkan ancaman.
“The surprise attack of Argentine was directly responded by British. Within a period less than two weeks, the British submarines had already been present in Falklands waters, and on April 8, 1982 British directly declared "200-Mile War Zone" around Falklands, effective commencing from April 12, 1982. The British declared that by then British would commit any military action against Argentinean activities.”
The quick response of British was
beyond calculation of General Leopoldo Galtieri, the President of Argentine,
who designed such invasion to Falklands. The presence of British submarines in
Falklands waters and the declared 200-Mile War Zone became a heavy blow for
Argentine, since it could jeopardize the plan that had been designed. The
offensive strategy of the British submarines would clearly limit the space of
movement for the Argentinean battle ships. In addition, the plan to lengthen
the runway in Port Stanley to be used as the advanced base for its fighter
planes, as the most reliable strength by Argentine was by then threatened to
fail.”
Dari dua contoh perang tersebut terlihat sepertinya Fleet in Being sudah tidak efektif lagi diterapkan di zaman modern. Namun perlu diketahui pula bahwa dua contoh di atas bukan di kawasan yang padat kepulauan. Dalam perang Falklands misalnya, jarak antara kepulauan Falklands dengan daratan Argentina lebih dari 300 mil, dan jarak antara kepulauan Falklands dengan kepulauan South Georgia ( termasuk wilayah Falklands ) lebih dari 1000 mil. Oleh karenanya penerapan Fleet in Being di kawasan negara Indonesia yang padat kepulauan dan banyaknya jalur-jalur pelayaran, masih sangat mungkin dilakukan, namun tentunya memerlukan modifikasi terkait dengan kekuatan gabungan, karena bila terjadi perang semua kekuatan negara harus dikerahkan.
Relief di Candi Borobudur