Suatu ketika saya berkesempatan mengunjungi kota Moskow, Rusia. Mungkin bukan saat yang tepat karena
ketika itu sedang musim dingin yang buruk. Temperatur udara di Moskow
turun terus, dan ketika itu mencapai minus 17 derajat Celcius.
Keadaan cuaca yang sedang buruk itu diumumkan di dalam pesawat ketika
masih dalam perjalanan.
Pesawat yang saya tumpangi berangkat dari bandara Frankfurt,
Jerman, perjalanan ke Moskow menempuh waktu kurang lebih 3 – 4 jam.
Dan ketika pesawat sudah terbang rendah mendekati kota Moskow,
saya mencoba menikmati memandangan lewat cendela. Apa yang tampak
di bawah, semuanya tampak serba putih tertutup salju. Semua
bangunan gedung-gedung dan juga pohon-pohon tertutup salju.
“ Lha dallah ! Iki sing mbok goleki ! ,” batin saya berguman menyalahkan diri sendiri, mengingat pengalaman sebelumnya di salah satu negara di Eropa pernah ‘ hampir mati ‘ karena berada di suatu kamar hotel yang alat pemanasnya mati, kondisi di luar sepanjang malam hujan salju dan temperatur udara turun mencapai minus 4 derajat Celcius atau mungkin lebih.
Kota Moskow yang saya datangi sedang dalam kondisi dingin sekali, lebih dingin dari pengalaman sebelumnya. Sudah terbayang di pesawat, bagaimana ‘ tersiksanya ‘ badan ini nantinya setibanya di kota Moskow.
“ Lha dallah ! Iki sing mbok goleki ! ,” batin saya berguman menyalahkan diri sendiri, mengingat pengalaman sebelumnya di salah satu negara di Eropa pernah ‘ hampir mati ‘ karena berada di suatu kamar hotel yang alat pemanasnya mati, kondisi di luar sepanjang malam hujan salju dan temperatur udara turun mencapai minus 4 derajat Celcius atau mungkin lebih.
Kota Moskow yang saya datangi sedang dalam kondisi dingin sekali, lebih dingin dari pengalaman sebelumnya. Sudah terbayang di pesawat, bagaimana ‘ tersiksanya ‘ badan ini nantinya setibanya di kota Moskow.
Singkat kata, pesawat milik maskapai penerbangan Jerman mendarat
dengan mulus di bandara Moskow. Tentu, kata-kata pertama yang saya
ucapkan adalah : “ Alhamdulillah, Puji syukur Tuhan, atas
perkenanMu sudah sampai di Moskow dengan selamat.”. Singkat kata lagi,
setibanya di hotel saya langsung mengikuti kegiatan sesuai jadwal
kegiatan dari perusahaan yang mengutus saya, dan semuanya berjalan
lancar.
Apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini bukan menyangkut kegiatan
sesuai tugas dari perusahaan, dan bukan pula soal kondisi cuaca yang sedang tidak
bersahabat. Melainkan sesuatu yang lain yang saya rasakan ketika saya
berkesempatan berbaur dengan warga kota Moskow, yaitu ketika mengunjungi
beberapa tempat antara lain pusat perbelanjaan, pasar tradisional kota
Moskow, stasiun kereta api di bawah
tanah, dan beberapa tempat lainnya.
Di tempat-tempat tersebut saya bertemu dan menikmati pemandangan dari
kesibukan warga kota Moskow. Entah mengapa, perhatian saya dengan
tiba-tiba tertuju kepada pribadi-pribadi orang Rusia. Saya mengamati
mereka di tempat-tempat itu. Mereka yang tua, baik laki-laki atau
wanita, mereka yang setengah tua, mereka yang muda dan gadis-gadis remajanya yang
cantik-cantik, dan juga anak-anak.
Ada suatu perasaan aneh ketika mengamati mereka itu, dan perasaan aneh
itu pula yang mendorong saya lebih intens
mengamati mereka. Perasaan aneh itu berupa suatu pertanyaan di dalam hati
: “ Orang-orang Rusia, atau bangsa Rusia, mereka ini
apakah termasuk bangsa Eropa atau Asia ?? “. Pertanyaan itu muncul begitu
saja. Perasaan saya mengatakan, orang-orang Rusia ini sepertinya
bukan termasuk bangsa Eropa, tetapi juga bukan bangsa Afrika atau Asia.
Setelah kembali dari Rusia, setiap mendengar atau membaca berita yang menyangkut Rusia selalu teringat lagi
pertanyaan tersebut : ‘ Rusia, Eropa atau Asia ?’. Saya cenderung
memilih jawaban sendiri : yang jelas bukan termasuk Eropa, Asia juga
bukan, melainkan pertengahannya. Apa namanya ? Belum tahu.
***
Jawaban dari pertanyaan yang mengusik saya tersebut terjawab beberapa tahun
kemudian. Ada seorang teman yang datang menemui saya, dan menyampaikan
konsep tulisannya, maksudnya untuk sharing . Saya terkejut membaca judul
tulisannya. Judulnya : Dilema Identitas Rusia ……..
Saya baca sampai selesai, ada sekitar 16
halaman, dan saya tercenung sejenak, kok seperti kebetulan saja, isi
tulisannya menjawab pertanyaan yang sempat mengusik saya. Saya baru
mengetahui dari tulisan teman itu, bahwa persoalan identitas bangsa Rusia sudah
lama menjadi thema sentral dalam diskusi para ahli-ahli sejarah dan para pemikir Rusia.
Antara lain, eksistensi bangsa Rusia pernah dijawab oleh sejarawan Alexander Yanov dalam bukunya The Origin of Autocracy ( 1981 ), dan sebelum itu pertanyaan apakah
Rusia termasuk bangsa Eropa atau bukan, ditulis oleh sejarawan Marc Raeff dalam
bukunya Russian Intellectual History ( 1966 ), dan masih banyak lagi,
termasuk pemikir besar Rusia abad-19, Peter Chadayev, yang secara tegas mengatakan :
” …….kita bukan Barat, dan bukan pula Timur ….. “.*)
Saya sependapat dengan Peter Chadayev, persis dengan apa yang saya rasakan ketika kurang lebih satu minggu berada di sana.
Saya sependapat dengan Peter Chadayev, persis dengan apa yang saya rasakan ketika kurang lebih satu minggu berada di sana.
Bersyukurlah kita, sebagai bangsa Indonesia
sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 sudah memiliki identitas yang
jelas, bangsa Timur, bangsa Bahari yang Binneka Tunggal Eka, dasar falsafah dan ideologi Pancasila, sehingga mestinya permasalahan yang menyangkut kebangsaan atau
nasionalisme, tidaklah serumit permasalahan yang dihadapi Rusia.
*) Kata-kata Peter Chadayev ini mengingatkan kepada Pancasila, dasar falsafah dan ideologi negara Indonesia. Pancasila adalah suatu sintesa dari dua idealisme besar di dunia, idealisme Barat dan Timur. Bisa dikatakan, idealisme Pancasila bukan Barat dan bukan pula Timur. Mungkinkah prinsip-prinsip dasar dari Pancasila itu yang nantinya sesuai digunakan untuk bangsa Rusia ?
Profil wajahnya mirip Asia /Indonesia, rambut pirang mirip Eropa, inilah dia gadis Rusia:
Bukan Eropa dan Bukan Asia