Social Icons

23 Juli 2013

SUFI DAN SUFISME






Bila mendengar kata sufi dan sufisme,  pertama kali yang muncul di benak kita adalah gambaran seorang kiai lengkap dengan atributnya sorban dan tasbih,  kiai tersebut hidup di pelosok desa jauh dari keramaian kota. Atau, barangkali yang muncul di benak kita adalah gambaran pengikut tarikat yang hidup berkelompok mengasingkan diri dari masyarakat umum,  dan mereka melakukan ibadah dengan cara-cara tertentu,  berbeda dengan ibadah yang dilakukan oleh masyarakat umum.  Dari gambaran-gambaran tersebut memunculkan anggapan, bahwa sufi dan sufisme cenderung tertutup atau mengisolir diri.
Gambaran sufi dan sufisme seperti di atas mungkin tidak seluruhnya benar.  Demikian juga klaim bahwa predikat sufi hanya bisa diraih oleh golongan uztad atau kiai – atau mereka yang mengikuti tarikat tertentu - tidak bisa diraih oleh awam ataupun oleh penghayat keagamaan lainnya.  Dan barangkali pula, gambaran sufi dan sufisme tersebut di atas itu yang mendorong atau memberi motivasi terhadap mereka,  sehingga  melakukan penghayatan keagamaan secara eksklusif dan isolatif  dalam upayanya mencari keteduhan rohani.

Pada hakikatnya, sufi identik dengan zuhud,  yaitu taraf perjalanan dalam penghayatan keagamaan,  di mana sudah tidak tergoda dengan segala hal yang bersifat duniawi, dan menghadapkan hati semata-mata hanya kepada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Zuhud, dalam bahasa kaum sufi adalah suatu kondisi dimana seseorang sudah bisa melepaskan diri dari ‘ kurungan ‘ duniawi yang membelenggunya selama ini, dan dalam kondisi lepas dari kurungan orang tersebut menatap pribadinya sendiri yang sebenarnya.  Sedangkan dalam bahasa filsafat sesuai yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryo Mentaram,  istilah zuhud dalam sufisme dapat diartikan sebagai suatu kondisi seeorang yang telah mampu membelenggu ‘ kramadangsa ‘ dan kemudian melihat dan bertemu ‘ manusia sejati ‘.

Zuhud adalah suatu kondisi batin dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa,  bersifat sangat pribadi, dan oleh karenanya tidak mudah diketahui oleh orang lain,  kecuali oleh orang-orang yang zuhud juga.  Dengan kata lain,  seorang sufi yang sebenarnya hanya bisa diketahui atau dikenal oleh sufi lainnya.

Menurut Syech Abdul Qadir Jaelani,  seseorang yang zuhud tidak berarti bahwa dia itu sepenuhnya menolak duniawi.  Pada awal perjalanannya mungkin seseorang tadi mendapat cobaan dari Allah dengan beberapa perkara yang sedemikian berat sehingga menyebabkan terputus hubungannya dengan sanak-keluarganya, kerabatnya, dan juga terputus dengan cara-cara mendapatkan rezekinya.  Cobaan itu berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi yang tersisa selain ruhnya.  Segala hal yang bersifat duniawi akhirmya dilupakan oleh hamba tersebut,  dan hatinya semata-mata menghadap kepada Allah.  Jadilah hamba tadi sebagai seseorang yang dekat dan dikasihi Allah.

Dalam kondisi demikian, menurut Syech Abdul Qadir Jaelani, bisa saja hamba tadi dikembalikan lagi oleh Allah ke dalam urusan dunia,  karena ada bagian-bagian tertentu dari duniawi yang menjadi haknya, dan pasti akan diterimanya. Selanjutnya seorang hamba tadi akan menolak atau menerima duniawi sesuai perintah batinnya,  hal ini berdasarkan rahasia Ilahi yang diketahuinya.

Mengingat hamba tadi berhubungan langsung kepada Allah,  sikap dan perilaku hamba tersebut sering terlihat aneh bagi pandangan awam.  Namun keanehannya tidaklah bertentangan dengan syariat, sekedar lain dari hal-hal yang dianggap biasa oleh awam.  Kezuhudan dan kedekatan hamba tadi justru berkat kepatuhan menjalankan syariat,  baik sebelum, selama dan sesudah masa-masa percobaan.

Keanehan dari perilku sufi, barangkali, disebabkan karena egonya yang sudah tidak mendapat peranan penting.  Ego atau Kramadangsa berhasil dikalahkan, sehingga hamba tadi menjadi manusia yang merdeka, yaitu bebas dari perbudakan oleh egonya. 

Perjuangan seorang hamba dalam mengalahkan egonya, hal itu sebenarnya yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW sebagai ‘ perjuangan besar ‘.  Dan hal itu pula yang dimaksud dalam firman Allah : “  Tahukah engkau yang disebut jalan pendakian itu ?  Jalan pendakian itu ialah, pertama menghapuskan perbudakan.  Ke dua,  memberi makan kepada orang-orang miskin “.  

Perbudakan yang dimaksud adalah perbudakan manusia oleh egonya,  karena hal itu adalah akar dari segala keburukan, dan merupakan penyebab mengapa manusia tidak mengenal pribadinya sendiri yang sebenarnya.

Jalan yang ditempuh sufi, seperti yang diajarkan oleh Syech Abdul Qadir Jaelani dan juga dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali,  adalah perpaduan antara syariat dan hakikat.  Dalam hal ini syariat diibaratkan sebagai tiang, sedangkan hakikat diibaratkan sebagai bayangan dari tiang tersebut.  Bila tiangnya lurus, maka bayangannya juga lurus.  Sebaliknya bila tiangnya bengkok,  maka bayangannya juga bengkok.  Syech Abdul Qadir Jaelani menekankan kepatuhan menjalankan syariat sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Dalam salah satu nasehatnya, beliau berpesan yang intinya menyatakan bahwa apapun tingkatan yang telah dicapai, dan dengan pengetahuan hakikat yang telah dibukakan oleh Allah,  maka jangan sekali-kali merubah syariat Nabi,

***

Dalam buku karyanya yang berjudul Misykat al-Anwar,  Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘ jalan pendakian ‘ atau mi’raj yang dialami oleh seorang hamba itu berbeda-beda caranya.  Disebutkan adanya tiga cara :  ada yang mengalami secara ma’rifat ilmu, dan ada yang meraihnya dengan ‘ dzauq ‘ yaitu suatu cita rasa batiniah yang tinggi,  dan ada yang mengalami dengan cara yang disebut ‘haal ‘,  yaitu suatu keadaan luar biasa yang meliputi diri seseorang.

Imam Al-Ghazali tidak menjelaskan bagaimana mi’raj secara ma’rifat ilmu itu.  Kemungkinan yang dimaksud adalah mi’rajnya para sufi atau filsuf yang sepanjang hidupnya berusaha mencari kebenaran dengan berpikir sedalam-dalamnya tentang hakikat kehidupan.

Sedangkan tentang mi’raj atau jalan pendakian yang disebut dengan ‘ dzauq ‘, Imam Al-Ghazali menulis sebagai berikut : “  Ketahuilah, wahai saudaraku yang beri’tikaf di alam akal, bahwa tidaklah aneh menurut akal,  bahwa di balik akal masih ada kondisi lain yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal.”

“ Maka janganlah sekali-kali anda beranggapan bahwa puncak kesempurnaan hanya patut bagi diri anda saja.  Bila anda ingin suatu misal bagi sejumlah keistimewaan khusus yang dapat anda saksikan pada diri orang-orang tertentu,  lihatlah bagaimana sebagian dari mereka memiliki dzauq, cita rasa batiniah yang halus, tentang syair yang hanya dikhususkan bagi mereka. “

Kemudian lanjutnya : “  Perhatikanlah, betapa sebagian orang memiliki dzauq yang amat kuat sehingga mampu menciptakan musik dan lagu-lagu serta melodi yang adakalanya menimbulkan kesenduan atau kegembiraan, membuat pendengarnya tertidur lelap, menangis, membunuh, pingsan, atau gila.  Kuatnya pengaruh seperti itu hanyalah pada diri mereka yang memang memiliki bakat dzauq pula.   Sedangkan orang yang sama sekali kosong dari dzauq itu,  mungkin saja ia ikut mendengarkan lagu-lagu, tetapi tidak merasakan pengaruhnya sedikit pun,  sehingga kadang-kadang ia menjadi terheran-heran melihat kawannya yang diliputi kerinduan dan kesyahduan lalu tak sadarkan diri.   Sekiranya orang-orang pandai yang memiliki dzauq ini berkumpul untuk membuatnya dapat memahami arti dzauq, niscaya mereka takkan berhasil.

Akhirnya Imam Al-Ghazali menyampaikan nasehatnya,  berupayalah agar menjadi seorang ahli dzauq dengan sebagian dari ruh mereka itu,  sebab para wali memiliki bagian yang cukup besar daripadanya.


***

Tentang jalan pendakian atau mi’raj yang berikutnya, yang disebut ‘ haal ‘ adalah suatu jalan pendakian yang tidak banyak memakan waktu. Dan bisa terjadi kepada siapa saja hamba-hamba yang memang dikehendaki oleh Allah.  Mereka ini dalam waktu sekejab memperoleh kesempatan paling dahulu untuk meraih ma’rifat tentang kekudusan serta pensucian sifat keagungan Rububiyah.  Menurut penjelasan Imam Al-Ghazali, hamba yang dikehendaki oleh Allah tersebut dengan tiba-tiba diserbu oleh Tajalli Ilahi secara sekaligus, sehingga cahaya-cahaya wajahNya membakar segala yang dapat diserap oleh penglihatan inderawi maupun penglihatan batiniah mereka.

Tentang hal ini, barangkali kita bisa memetik pelajaran dari kisah di Alkitab dari seorang yang bernama Saulus.  Saulus pada awalnya adalah penentang Yesus, dan selalu berusaha memburu dan menangkap para pengikut Yesus.  Namun ketika pada suatu ketika ia akan menangkap pengikut Yesus yang berada di dalam suatu kota,  tiba-tiba saja ada kejadian luar biasa yang menimpanya,  matanya menjadi buta.  Kisah selanjutnya ia justru yang " ditangkap " oleh pengikut Yesus,  untuk dirawat dan disembuhkan.  Dan setelah sembuh,  Saulus berubah total menjadi pengikut yang setia dan pembela Yesus.  Di kemudian hari ia dikenal sebagai Rasul Paulus.  Dan Rasul Paulus inilah pribadi yang berjasa besar dalam  membesarkan syiar agama Kristen. Walahualam.

Dari pembahasan di atas semoga bisa memberi gambaran tentang sufi dan sufisme.  Semua para Nabi atau Utusan Allah, pada dasarnya adalah Sufi Agung dan pribadi-pribadi agung yang terpilih untuk mengajarkan jalan agama.  Untuk melengkapi pemahaman, di bawah ini disampaikan suatu kisah yang kadang-kadang digunakan sebagai pengajaran dalam memahami sufi dan sufisme.

Pada suatu ketika, seorang pedagang yang sedang dalam kesulitan datang menemui sufi Jalaludin Rumi.  Sebelum pedagang itu mengutarakan kesulitannya, Rumi berkata : “  Engkau mendapat kesulitan karena pada suatu hari nun jauh di negeri Barat sana,  engkau melihat seorang darwis Kristen di tengah jalan, dan engkau meludahinya.  Temui dia dan minta maaf padanya, dan sampaikan salam kami kepadanya. “

Segera saja pedagang itu melakukan pejalanan untuk menemui darwis yang dimaksud.  Ketika bertemu, ulama Kristen itu berkata : “  Guru kami Jalal telah menghubungi saya, “  kemudian menunjuk ke satu arah.  Pedagang itu melihat ke arah yang ditunjuk oleh darwis, dan melihat Jalaludin Rumi sedang membaca kata-kata berikut ini :    Tak peduli kerikil atau permata, semuanya akan mendapat tempat di bukitNya,  ada tempat bagi semuanya …………”













 
Blogger Templates