Sudah semenjak dahulu kala Sufi dan Sufisme menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya kaum santri dan orang awam, melainkan juga para sarjana muslim maupun non-muslim. Dan Sufisme sering dijadikan obyek penyelidikan.
Tidak jarang, di antara mereka para cendekiawan, bahkan para ulama dan kiai-kiai berselisih pendapat tentang Sufi dan Sufisme, sehingga kadang-kadang menimbulkan suatu ketegangan atau polemik. Hal tersebut menjadikan sufisme bertambah terbuka bagi sementara orang, dan mungkin : menjadikan sufisme semakin sulit didekati bagi sementara orang lainnya.
Memang, mendekati Sufi dan Sufisme bagaikan dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, para Sufi dikatakan sebagai manusia-manusia bijaksana, dan jalan yang ditempuh oleh para Sufi dikatakan sebagai jalan menuju pengetahuan tentang kebenaran. Di sisi lainnya, sikap dan perbuatan para sufi umumnya aneh dan di luar kebiasaan. Kadang-kadang di antara mereka berbuat seperti layaknya orang bodoh yang tidak berpengetahuan. Dilihat dari sisi ini mengakibatkan banyak tuduhan terhadap sufisme, mulai dari penyelewengan syariat, sumber bid'ah, sampai kepada tuduhan bahwa sufisme adalah penyebab dari stagnasi pemikiran umat Islam.
Pihak yang mengatakan bahwa Sufisme adalah jalan menuju pengetahuan tentang kebenaran sejati, mengatakan, bahwa Sufisme bersumber dari Qur'an dan Hadits, dan berasal dari Nabi Muhammad SAW yang khusus diajarkan kepada para sahabat. Sedang pihak yang menentang mengatakan, sufisme merupakan ajaran yang menyimpang dari sunnah rasulullah, akibat dari pengaruh ajaran dan kepercayaan lain, misalnya pengaruh dari Persia, India, maupun filsafat Yunani Kuno.
Disamping itu ada pula cendekiawan muslim yang tidak menolak sufisme, namun menyampaikan koreksi terhadap cara-cara yang dilakukan oleh para sufi, yang mereka sebut sebagai Sufisme Lama. Koreksi para cendikiawan itu bertitik-tolak dari pandangan bahwa Sufisme Lama / Kuno cenderung isolatif, yakni berusaha mencapai tahap zuhud dengan cara mengisolir diri. Menurut para cendekiawan itu, mengisolir diri menunjukkan kelemahan iman dan egois. Dan hal inilah yang mereka katakan sebagai penyebab kemunduran pemikiran umat Islam.
Mereka menyatakan, bahwa sufisme lama yang spiritualismenya isolatif itu sudah tidak sesuai pada zaman modern ini. Demi untuk kemajuan pemikiran umat Islam, penghayatan keagamaan secara kesufian harus dilakukan dengan spiritulisme sosial yang tinggi. Spiritualisme sosial yang tinggi inilah yang mereka sebut sebagai Sufi Modern atau Neo-Sufisme.
Dari pembahasan di atas diketahui adanya perbedaan pendekatan terhadap Sufi dan Sufisme. Pendekatan yang pertama dengan prasangka baik ( positive thinking ), yaitu melihat hal-hal yang baik pada Sufi dan Sufisme, kemudian dikembalikan kepada sumber ajaran tentang kebaikan, Qur'an dan Hadits. Sebaliknya pendekatan ke dua bermuatan prasangka buruk ( negative thinking ), yaitu melihat sisi yang dianggap buruk pada Sufi dan Sufisme, dan kemudian mencela keburukan itu sebagai ajaran yang menyimpang dari Qur'an dan Hadits.
Negative thinking, jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Karena hal tersebut dapat menyebabkan kesalah-pahaman atau kekeliruan pemahaman terhadap sesuatu yang hakikatnya belum diketahui. Terlebih lagi mendekati Sufi dan Sufisme dimana berkaitan erat dengan pengetahuan tentang kebenaran, yang kadang-kadang tersembunyi dalam ungkapan-ungkapan puitis mengenai pengalaman mistik. Maka sangat berbahaya sekali bila kita berusaha menafsirkannya diawali dengan muatan prasangka buruk.
Tentang hal ini, menarik sekali sikap cermat dan berhati-hati yang ditunjukkan oleh Romo P.J. Zoetmulder dalam penelitiannya tentang Pantheisme dan Monoisme di dalam sastra Suluk Jawa. Dalam bukunya yang berjudul Manunggaling Kawulo Gusti, antara lain beliau menulis sebagai berikut :
" Bila kita berhadapan dengan suatu ungkapan puitis mengenai pengalaman mistik, maka sukarlah menangkap arti harafiah serta maksud pengarangnya. Berbahayalah bila kita ingin menafsirkan bahasa yang emosional itu, yang dengan terpatah-patah ingin mengungkapkan suatu peristiwa batin yang sangat pribadi dengan sebuah doktrin obyektif mengenai Yang Ada. Hanya bila sang mistikus sendiri dalam bagian karyanya yang lebih bersifat doktriner, atau dalam khotbah-khotbahnya memberikan keterangannya, atau memaparkan pendapat-pendapat yang berlaku pada zamannya atau pada kalangannya, dan ini menunjuk pada suatu arah tertentu, barulah kita dengan agak pasti dapat memberikan pertimbangan kita. "
Imam al-Ghazali, sufi dan filsuf Islam yang juga dikenal sebagai tokoh rekonsiliasi Islam dan pembaharu agama, dalam bukunya Misykat al-Anwar menulis sebagai berikut :
" Anda telah mengetuk pintu terkunci yang hanya dapat terbuka bagi para ilmuwan yang mendalam ilmunya dan kuat pijakannya. Kemudian dari itu, tidak setiap rahasia boleh diungkapkan dan disiarkan. Tidak setiap hakikat boleh dikemukakan dan diterangkan. Bahkan, hati orang-orang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia. "
Disamping itu, ada Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi sebagai berikut :
" Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali para alim-billah. Apabila mereka menuturkannya, tidak seorang pun akan menyanggahnya kecuali orang yang terkelabui. "
***
Pada suatu masa seorang raja sangat tertarik terhadap kebijaksanaan yang dimiliki oleh sufi yang agung, sehingga raja tersebut datang ke tempat sang sufi, dan menyatakan ingin menjadi muridnya. Sang Sufi menyanggupi asal sanggup menempuh ujian dan melakukan sesuatu sesuai yang diminta. Ujian yang dimaksud adalah dengan menjawab : " Aku percaya kepadamu !, " kepada segala sesuatu yang akan dikatakan oleh sufi.
" Jika hanya demikian sebuah ujian, maka betapa mudah menjadi sufi, " kata sang raja, dan minta agar ujian langsung dilakukan saat itu juga.
Maka dimulailah ujian itu, Dan sufi berkata :
" Aku adalah seorang manusia yang datang dari kahyangan. "
" Aku percaya kepadamu !, " jawab raja.
" Manusia awam mencoba meraih pengetahuan, sedangkan kaum sufi, karena sedemikian luas pengetahuan mereka, mencoba untuk tidak menggunakannya, " kata sufi.
" Aku percaya kepadamu !, " jawab raja.
" Aku adalah seorang pendusta. "
" Aku percaya kepadamu ! "
Sang sufi melanjutkan :
" Aku hadir ketika kakekmu dilahirkan. "
" Aku percaya kepadamu ! "
" Dan ayah kakekmu adalah seorang perompak, "
" Dusta !, " hardik sang raja.
Sang sufi menatap baginda raja dengan sedih, dan berkata :
" Karena sedemikian cerobohnya, maka untuk satu menit saja engkau tak dapat tetap mengingat bahwa engkau harus mengatakan " Aku percaya kepadamu ", tanpa prasangka tampil memainkan peranannya. Tak seorang sufi pun sanggup mengajarkan sesuatu hal kepadamu. "
( Kutipan dari artikel : Sufisme & Stagnasi Pemikiran Umat Islam, oleh GS, Harian AB 29 Oktober 1994 ).
Tidak ada
yang namanya sufisme lama atau sufisme baru ( neo-sufisme ). Dari zaman dulu sejak awalnya, zaman sekarang maupun zaman yang akan datang,
sufisme ya seperti itu, ada yang dijalankan oleh kebijaksanaan Allah SWT melalui
cara mengisolir diri, ada yang dijalankan melalui kebijaksanaanNya dengan cara
spiritualisme sosial yang tinggi.
Contoh pribadi yang dijalankan oleh Tuhan dengan cara mengisolir diri, antara lain : Siddartha Gotama. Siddartha Gotama dan para Nabi pembawa risalah untuk umat manusia, pada hakikatnya adalah pribadi-pribadi agung atau bisa disebut Sufi Agung.
Cara spiritualisme sosial yang tinggi atau pengabdian yang tulus kepada umat manusia bukan suatu ajaran baru. Mengambil contoh dari sejarah timbulnya agama Buddha sekian abad sebelum masehi, Sang Buddha mendapat pencerahan dengan cara mengisolir diri, tapi risalah ajaran yang dibawanya menganjurkan spiritualisme sosial yang tinggi : menekankan ' perbuatan baik ' atau ' jalan kebajikan '. Sedemikian kuatnya penekanannya kepada perbuatan baik, sehingga banyak disalahpahami seolah-olah Buddha tidak mengajarkan Ketuhanan. Padahal di dalam kitap suci agama Buddha, beberapa kali Siddartha Gotama menyebut dirinya sebagai ' Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna ', antara lain ayat 59 Dhammapada yang berbunyi : " Begitu juga di antara orang duniawi, siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya " .
Bila kita berpikir bahwa yang patut disebut ' Yang Maha Sempurna ' tidak ada lain selain Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna, maka Siddartha Gotama mendaku dirinya sebagai ' Siswa Tuhan Yang Maha Sempurna ' Wallahualam.
Contoh lain pribadi agung yang dikenal spiritualisme sosialnya tinggi, ialah Bung Karno ( Islam ) dan Mother Teresa ( Kristen ) . Sufisme terdapat di semua agama, hanya nama dan sebutannya mungkin berbeda.
Ada banyak cara, ada banyak jalan, tergantung kehendakNya. Satu hal yang pasti, bahwa sufisme itu menggunakan satu kunci. Dan banyak manusia berusaha menemukan kunci itu, bahkan mereka mau membelinya. Namun mereka mungkin banyak yang tidak menyadari, bahwa bila kunci itu diberikan dengan cuma-cuma, niscaya banyak yang tidak mau menerimanya.
PRAMBANAN TEMPLE