Arti kata Ij’tihad
dalam ilmu Fiqh adalah suatu usaha keras yang dilakukan untuk mengetahui hukum
suatu perkara, melalui sumber pokok
hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Hadits. Sebagian
ulama Islam memandang Ij’tihad - yang dimaksud adalah hasil ij’tihad yaitu
ij'ma ulama - sebagai Hukum Ke Tiga dari Islam, setelah
Al-Quran dan Hadits.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar dalam memutuskan suatu perkara – memilih keputusan yang terbaik suatu perkara yang rumit – pertama kali agar berusaha keras mencari hukum menyangkut perkara itu di kitab Al-Quran. Bila hal itu sudah dilakukan tetapi tidak menemukan hukum atau dalil-dalilnya, maka hendaklah berusaha keras mencarinya dalam Hadits Nabi. Bila ke dua hal itu sudah dilakukan tetapi tetap saja tidak menemukan hukum atau dalil-dalilnya, maka hendaklah manusia itu berij’tihad menggunakan akal pikirannya. Maksudnya, dalam memutuskan perkara harus dipikirkan dulu sedalam-dalamnya, dengan berbagai pertimbangan, dan tentunya yang terpenting adalah dilandasi dengan niat yang tulus dalam mencari ridho Allah.
Nabi bersabda bahwa
siapa berij’tihad dan ternyata hasil ij’tihadnya itu benar, maka akan mendapat dua pahala. Dan siapa berij’tihad tapi di kemudian hari terbukti
bahwa ij’tihadnya salah, dia masih mendapat satu pahala.
Soal ij’tihad ini sering menimbulkan perdebatan di kalangan ulama-ulama Islam sendiri. Pangkal dari berdebatan adalah menyangkut “ siapa yang boleh berij’tihad “ ? Apakah semua muslimin-muslimat atau hanya mereka / ulama yang dipandang sebagai ahli dan banyak menguasai ilmu-ilmu Al-Quran, yang boleh berij’tihad ?
Sebagian ulama berpendapat bahwa ij’tihad hanya bisa dilakukan oleh seorang mujtahid dan tidak boleh dilakukan oleh penganut yang biasa. Dengan kata lain, jika anda, para pembaca artikel ini, adalah muslim-muslimat biasa dan bukan mujtahid, maka soali ij’tihad bagi anda termasuk ‘ tanah yang sangar ‘ alias tidak boleh didekati.
Hal yang disebutkan di
atas sudah sejak lama ditentang oleh golongan Islam terpelajar dan
moderat. Mereka berpandangan bahwa hal
tersebut yang menjadi penyebab utama kemundurran pemikiran umat Islam. Tidak kurang dari Ir.Soekarno, proklamator kemerdekaan R.I. dan Penggali
Pancasila, jauh sebelum kemerdekaan R.I.
yaitu sekitar tahun 1930-an banyak menulis menyorot masalah tersebut.
Di dalam buku “ Di Bawah Bendera Revolusi “ yang diterbitkan sekitar tahun 1960-an, bisa kita baca kembali tulisan-tulisan Bung Karno yang menyoroti masalah tersebut, antara lain kutipan di bawah ini :
“
Bahwa dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup, semenjak ada
anggapan, bahwa pintu idjtihad sekarang
termasuk tanah yang sangar. Bahwa dunia Islam mati jeniusnya,
sejak ada anggapan, bahwa mustahil ada mudjtahid yang bisa melebihi ' imam
yang empat '.
Jadi harus mentaqlid saja kepada tiap-tiap kyai atau ulama dari madzhab
yang empat itu. “
" Bukan Qur'an-lah kitab hukumnya orang
Islam, tetapi apa yang ulama-ulama dari segala waktu cabutkan dari Qur'an dan
Sunnah itu. Maka ini ulama-ulama dari waktu adalah terikat pula
kepada ucapan-ucapannya ulama-ulama terdahulu dari mereka masing-masing dalam
lingkungan mazhabnya sendiri-sendiri. Mereka hanya dapat memilih
antara pendapat-pendapat otoriter-otoriter yang terdahulu dari mereka
.........maka syari'at seumumnya akhirnya tergantunglah kepada Idjmak,
firman yang asli. "
" Marilah kita, kalau kita tidak mau
mendurhakai zaman, marilah kita mengangkat rasionalisme itu menjadi kita
punya bintang petunjuk di dalam mengartikan Islam. Kita tidak akan
rugi, kita akan untung. Sebab Allah sendiri di dalam Qur'an
berulang-ulang memerintahkan kita berbuat demikian itu. Apa sebab
kamu tidak berpikir, apa sebab kamu tidak menimbang, apa sebab
tidak kamu renungkan, itu adalah peringatan-peringatan Allah yang sering
kita jumpai. "
Jika ij’tihad hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
dipandang sudah ahli, lalu apakah ajaran soal ij’tihad itu termasuk sesuatu
yang ‘ istimewa ‘ yang dikhususkan bagi orang-orang pandai atau mereka yang
dipandang sudah ahli saja ?
Tentunya tidak demikian. Syariat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berlaku untuk semua orang dan untuk semua tingkatan, dan tidak ada yang dibeda-bedakan.
Tentunya tidak demikian. Syariat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berlaku untuk semua orang dan untuk semua tingkatan, dan tidak ada yang dibeda-bedakan.
Bung Karno – dalam kutipan tulisan di atas – sejak sebelum kemerdekaan R.I sedemikian kerasnya menyoroti soal ijtihad, dan menggarisbawahi bahwa menganggap ijtihad sebagai tanah yang sangar dan lalu bertaqlid saja kepada tiap-tiap kyai atau ulama dari madzhab yang empat itu, sebagai penyebab utama kemunduran Islam.
Kita bisa memahami apa yang diinginkan oleh Bung
Karno, karena dengan bertaqlid saja berarti kita membatasi diri sendiri dalam berpikir,
dan hal itu justru bertentangan dengan firman Allah yang berkali-kali
menyerukan kepada manusia agar berfikir, merenungkan, memikirkan
sedalam-dalamnya suatu hal yang akan kita putuskan.
Dimensi
Ij’tihad
Nabi bersabda bahwa
siapa berij’tihad dan ternyata hasil ij’tihadnya itu benar, maka akan mendapat dua pahala. Dan siapa berij’tihad tapi di kemudian hari terbukti
bahwa ij’tihadnya salah, dia masih mendapat satu pahala. Dari sabda Nabi tersebut kita bisa
menggarisbawahi makna yang terkandung di dalamnya bahwa siapa yang telah
berusaha keras dalam memutuskan suatu perkara – yang tentunya usaha keras itu
dilandasi dengan iman, ketulusan niat, dan niat memilih yang terbaik dari semua
pilihan yang baik – maka apapun yang diputuskan itu tetap berpahala.
Hal ini dihadapkan
dengan banyaknya peringatan dan perintah Allah yang tertulis di Al-Quran, maka
soal ij’tihad tidak bisa diartikan hanya secara sempit terkait dengan soal Fiqh
saja. I’tihad memiliki dimensi yang
luas, menyangkut masalah yang bersifat umum lainnya, misalnya termasuk mencari
pengertian yang benar dari ayat-ayat suci Al-Quran maupun Hadits Nabi.
Bagaimana kita mau mendasarkan pendapat atau keputusan kepada Al-Quran dan Hadits, jika makna hakikat dari ayat-ayat Al-Quran ataupun hadists itu sendiri belum kita pahami ?
Bagaimana kita mau mendasarkan pendapat atau keputusan kepada Al-Quran dan Hadits, jika makna hakikat dari ayat-ayat Al-Quran ataupun hadists itu sendiri belum kita pahami ?
Lebih-lebih lagi bila
kita sadari, bahwa ayat-ayat Al-Quran
ada yang bersifat Muhkamad – ayat yang terang dan jelas – dan banyak pula
ayat-ayat yang bersifat Mutasyabihad – yaitu ayat yang memiliki arti
tersembunyi. Bahkan menurut sabda
Nabi, ada ilmu yang tersembunyi rapat
dan tidak seorangpun manusia mengetahuinya kecuali dibukakan oleh Allah SWT sendiri
pengetahuan tentang hal itu. Hamba yang mendapat pengetahuan langsung dari Allah dikenal sebagai alim-billah.
Sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat ini, karena hanya diartikan secara harafiah dan dengan alasan
adanya nasikh dan mansukh, lalu ditafsirkan sebagai ayat yang temporal dan oleh
karenanya bersifat ‘ redundant ‘.
Pendapat ini adalah salah satu contoh aktual kemunduran pemikiran umat Islam.
Bila pendapat ini diikuti, bisa terjadi pada suatu masa kelak di mana zaman lebih maju dari sekarang ini, akan bertambah banyak lagi ayat-ayat suci wahyu Ilahi yang dianggap ayat temporal dan oleh karenanya bersifat redundant.
Ada pula yang memaknai ayat mutasyabihad dikait-kaitkan dengan teori dalam sains modern, misalnya mengaitkan kata ' mengembang ' dalam ayat Al-Quran untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap hipotesa Bigbang .............seakan-akan mengajak ' bertaqlid ' kepada hipotesa-hipotesa yang dicetuskan oleh ilmuwan. Hal ini yang menyebabkan dunia Islam seakan-akan ' mati jeniusnya ' sebagaimana disuarakan oleh Bung Karno.
Bila pendapat ini diikuti, bisa terjadi pada suatu masa kelak di mana zaman lebih maju dari sekarang ini, akan bertambah banyak lagi ayat-ayat suci wahyu Ilahi yang dianggap ayat temporal dan oleh karenanya bersifat redundant.
Ada pula yang memaknai ayat mutasyabihad dikait-kaitkan dengan teori dalam sains modern, misalnya mengaitkan kata ' mengembang ' dalam ayat Al-Quran untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap hipotesa Bigbang .............seakan-akan mengajak ' bertaqlid ' kepada hipotesa-hipotesa yang dicetuskan oleh ilmuwan. Hal ini yang menyebabkan dunia Islam seakan-akan ' mati jeniusnya ' sebagaimana disuarakan oleh Bung Karno.
Ij’tihad yang diajarkan
oleh Nabi pada dasarnya adalah suatu metode yang memberikan alternatif kepada
umat untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,
yang belum diketahui atau tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran dan Hadits.
Dengan cara itu maka ajaran Islam tidak kaku dan beku, melainkan suatu ajaran yang fleksibel dan
terbuka, serta dapat mengimbangi tuntutan perkembangan zaman. Dengan kata lain, ajaran Islam memberi
jaminan adanya dinamika dan kontinuitas pemikiran umat. Dari sisi ini terlihat
bahwa soal ij’tihad sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih luas.
Ij’tihad
dalam sufisme
Ij’tihad dikaitkan
dengan jalan yang ditempuh oleh kaum sufi,
di mana mereka adalah hamba-hamba yang selalu berusaha mendekat kepada
Allah baik dengan cara-cara dzikir, uzlah, maupun amal perbuatan lainnya, maka
kegiatan yang mereka lakukan itu termasuk suatu ij’tihad juga. Yakni berij’tihad
dalam taat dan mendekat kepada Allah SWT, dan dalam mencari ridhoNya.
Selain berij’tihad
dalam taat kepada Allah, para sufi juga berij’tihad dengan pengetahuan yang
didapatnya. Hal ini sesuai dengan pengertian dari sufisme itu sendiri, bahwa pada dasarnya sufisme adalah wajah
lahiriah dari pengetahuan tentang kebenaran,
atau sering disebut sebagai pengetahuan yang mulia.
Unsur-unsur intinya dari zaman ke zaman tidak berubah, sehingga tidak bisa diadakan pembedaan, misalnya, yang ini sufisme lama dan yang itu sufisme baru ( neo-sufisme – sudah di post di artikel yang lalu ).
Menurut Imam Al-Ghazali, isi dari sufisme adalah tetap, terdiri dari kegiatan tentang pengetahuan itu sendiri, ditambah dengan kecakapan cara-cara pengajaran.
Unsur-unsur intinya dari zaman ke zaman tidak berubah, sehingga tidak bisa diadakan pembedaan, misalnya, yang ini sufisme lama dan yang itu sufisme baru ( neo-sufisme – sudah di post di artikel yang lalu ).
Menurut Imam Al-Ghazali, isi dari sufisme adalah tetap, terdiri dari kegiatan tentang pengetahuan itu sendiri, ditambah dengan kecakapan cara-cara pengajaran.
Ij’tihad para sufi,
karena menyangkut pengetahuan tentang kebenaran, kadang-kadang mengisyaratkan
suatu kebenaran yang terdapat di dalam ajaran agama atau ajaran lainnya.
Pada dasarnya hal ini tidak bertentangan
dengan Al-Quran sebagai kitab wahyu yang juga membenarkan kitab-kitab wahyu
agama lainnya. Hal ini yang sering dilupakan atau mungkin belum dipahami oleh
mereka yang sering berprasangka buruk terhadap penganut agama lainnya. Padahal banyak ayat-ayat yang mengingatkan,
antara lain :
“ Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat-buat saja oleh siapapun selain Allah. Bahkan ia membenarkan kitab-kitab wahyu yang sebelumnya, dan lebih memperjelas lagi hukum-hukum yang telah disyari’atkan di dalamnya. Tidak ada keragu-raguan dalam isinya, betul-betul datangnya dari Tuhan semesta alam “ ( QS 10 ; 37 ).
“ Apa yang kami wahyukan kepadamu dari pada
kitab Al-Quran ini adalah kebenaran yang membenarkan kitab-kitab
sebelumnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Mengetahui dan Melihat “ ( QS 35 ; 31 ).
Contohnya, di dalam ajaran agama Buddha sering dikisahkan bahwa Sang Buddha hanya berdiam diri dan tidak mau menjawab ketika ada muridnya yang bertanya : “ Apakah Tuhan itu ada ? “. Hal itu merupakan suatu bentuk ketaatan Sang Buddha terhadap ajarannya, yang lebih menekankan perbuatan kebajikan dari pada penyembahan. Pada masa hidupnya Sang Buddha, penyembahan kepada Tuhan banyak diselewengkan menjadi penyembahan terhadap sosok yang tidak selayaknya disembah dan dimintai perlindungan, dan Sang Buddha ingin mengubah kondisi tersebut dengan mengajarkan ' Tiga Perlindungan / Tiga Permata ' atau Tiratana.
Sedangkan contoh sufi yang ‘ melampaui batas ‘, misalnya terjadi pada Al-Hallaj yang ‘ mendaku dirinya sebagai Tuhan ‘. Hal yang sama di Indonesia / Jawa kita kenal kisah tentang Sech Siti Jenar. Kejadian seperti yang dialami Al-Hallaj, Syech Siti Jenar ( dan mungkin juga yang terkait dengan ajaran Mirza Ghulam Ahmad ), sebenarnnya telah diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya : “ Tidaklah seseorang berbicara kepada kaumnya dengan suatu pembicaraan yang tidak dapat dicapai oleh akal mereka, kecuali pembicaraan itu menjadi fitnah atas mereka. “
Kebenaran yang diungkap
oleh para sufi, dan terkait dengan
kebenaran yang ada di ajaran agama lainnya
atau ajaran yang dikemukakan oleh filsuf,
sering menjadi penyebab tuduhan kepada sufisme. Sufisme dituduh sebagai suatu ajaran yang
menyimpang, sumber bid’ah, atau dituduh
sebagai ajaran yang dipengaruhi oleh kepercayaan dari Persia, India, maupun
Yunani Kuno.
Tuduhan-tuduhan tersebut
dilontarkan oleh mereka para ulama atau cendekiawan yang tidak paham hal-hal
terkait dengan sufsme, atau mereka yang dari awal sudah berprasangka buruk
terhadap sufisme.
Sebagai contoh, suatu
ketika Abu Yasid al-Busthamy, salah seorang sufi zuhud mengatakan : “ Kami
menenggelamkan diri di samudera, di mana para Nabi berdiri tegak di tepiannya.“ Sebagian ulama menafsirkan
kata-kata yang dilontarkan oleh Abu Yasid sebagai suatu ungkapan yang
merendahkan Nabi, oleh karenanya mereka
menuduh para sufi itu sebagai biang dari segala bid’ah.
Padahal hakikatnya
tidak demikian. Perkataan itu bukan
kesombongan dan bukan pula merendahkan Nabi,
melainkan justru suatu pengakuan bahwa kadar ketaatan para Nabi kepada
Allah itu lebih tinggi dari mereka, para sufi.
Oleh karenanya para Nabi itu betul-betul membatasi diri dalam perkataan
maupun perbuatan khususnya menyangkut rahasia Ilahi yang diketahuinya dalam
samudera makrifat. Hal ini diibaratkan
dengan kata-kata ' para Nabi berdiri tegak di tepian.'
Sedangkan mereka, para
sufi itu, kadar ketaatannya kepada Allah
lebih rendah dari Nabi. Oleh karenanya
ketika mereka berij’tihad sesuai pengetahuan yang didapat dalam samudera makrifat, kadang-kadang melampaui batas. Hal ini diibaratkan dengan kata-kata ' kami menenggelamkan diri di samudera '.
Contohnya, di dalam ajaran agama Buddha sering dikisahkan bahwa Sang Buddha hanya berdiam diri dan tidak mau menjawab ketika ada muridnya yang bertanya : “ Apakah Tuhan itu ada ? “. Hal itu merupakan suatu bentuk ketaatan Sang Buddha terhadap ajarannya, yang lebih menekankan perbuatan kebajikan dari pada penyembahan. Pada masa hidupnya Sang Buddha, penyembahan kepada Tuhan banyak diselewengkan menjadi penyembahan terhadap sosok yang tidak selayaknya disembah dan dimintai perlindungan, dan Sang Buddha ingin mengubah kondisi tersebut dengan mengajarkan ' Tiga Perlindungan / Tiga Permata ' atau Tiratana.
Sedangkan contoh sufi yang ‘ melampaui batas ‘, misalnya terjadi pada Al-Hallaj yang ‘ mendaku dirinya sebagai Tuhan ‘. Hal yang sama di Indonesia / Jawa kita kenal kisah tentang Sech Siti Jenar. Kejadian seperti yang dialami Al-Hallaj, Syech Siti Jenar ( dan mungkin juga yang terkait dengan ajaran Mirza Ghulam Ahmad ), sebenarnnya telah diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya : “ Tidaklah seseorang berbicara kepada kaumnya dengan suatu pembicaraan yang tidak dapat dicapai oleh akal mereka, kecuali pembicaraan itu menjadi fitnah atas mereka. “
***
Hakikat Cahaya
Dalam banyak hal, kesalahpahaman yang sering menjadi sumber fitnah dan kemudian menjadikan para penganut agama saling bermusuhan, disebabkan karena masing-masing di antara mereka memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami ayat-ayat kitab suci. Hal ini pula yang menyebabkan di masing-masing agama yang ada di dunia, di dalamnya terdapat banyak sekali faham atau aliran, dan masing-masing faham itu meyakini bahwa faham yang dianutnya itulah yang benar.
Berkaitan dengan hal itu menarik sekali ajaran Imam Al-Ghazali yang menjelaskan tentang kemampuan manusia dalam menangkap atau memahami fenomena alam semesta. Dalam ajarannya tentang ' hakikat cahaya ' di buku yang ditulisnya ' Misykat al-Anwar ', Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan dalam memahami gejala alam - atau suatu daya pencerapan - yang bertingkat dan disebutnya dengan istilah : mata lahiriah, mata akal dan mata batin.
Oleh sebab itu pemahaman masing-masing orang terhadap wahu Ilahi juga bertingkat-tingkat. Sehingga dari sisi ini Kalam Ilahi bisa digolongkan menjadi tiga tingkatan : kalam yang jelas atau mukhamad, kalam yang mengandung kiasan, dan kalam yang tersembunyi atau mutasyabihat.
Ayat-ayat mukhamad, pengertiannya jelas secara harafiah sehingga mudah dipahami oleh awam. Ayat-ayat yang mengandung kiasan atau simbolisme, bisa dipahami oleh mereka yang berpengetahuan karena kiasan atau simbolisme yang dikandungnya berkaitan erat dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang dipahami oleh orang yang bersangkutan itu. Sedangkan ayat-ayat yang tersembunyi, hanya dapat dipahami oleh para alim-billah, yakni mereka yang dibukakan ilmu oleh Allah. Imam Al-Ghazali menyebut mereka ini sebagai orang-orang yang ' akalnya telah tercerahkan oleh cahayaNya '.
Apa yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali sesungguhnya sesuai dengan Hadits Nabi yang berbunyi :
" Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorangpun mengetahuinya kecuali para alim-billah. Apabila mereka menuturkannya, tidak seorangpun akan menyanggahnya kecuali orang yang terkelabui. Karena itu, janganlah kalian menghina orang alim yang dikaruniai Allah Ta'ala dari ilmu tersebut. Sebab Allah Ta'ala tidaklah menghina orang alim itu, ketika Allah memberinya ilmu tersebut. "
Hadits Nabi tersebut di atas juga berkesesuaian dengan ayat-ayat Al-Quran, antara lain ayat-ayat tentang Nabi Musa ketika belajar kepada Nabi Khidir AS.
Dikisahkan dalam ayat-ayat tersebut bahwa Musa ketika itu selaku murid dan karena akalnya belum sampai, maka beberapa kali selalu menyanggah apa-apa yang dilakukan oleh gurunya, padahal sebelumnya sudah dipesan oleh Khidir AS agar tidak menyanggah apa-apa yang dilakukannya dalam proses pengajaran itu. Tiga kali Musa menyanggah Khidir, dan akhirnya Khidir AS menjelaskan kepada Musa alasan dari semua perbuatan yang dilakukannya. Setelah dijelaskan, Musa baru menyadari kekeliruannya dan mengakui bahwa Khidir AS, gurunya, adalah manusia bijaksana.
Berkenaan dengan hal itu Imam Al-Ghazali mengatakan : " Ketahuilah, wahai saudaraku yang beri'tikaf di alam akal, bahwa tidaklah aneh menurut akal, bahwa di balik akal masih ada kondisi lain yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal."
Apa yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali dengan kata-kata ' di balik akal ', yakni sesuatu yang berkaitan dengan daya pencerapan mata batin, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal, melainkan sesuai dengan akal. Namun sesuatu itu barangkali dipandang ' tidak mauk akal ' bagi sebagian orang, bukanlah tidak masuk akal dalam arti sebenarnya, melainkan karena akal mereka belum sampai.
Contoh sederhana mereka yang akalnya belum sampai bisa diibaratkan seorang anak kecil waktu malam hari memandang ke langit dan melihat bintang-bintang bertaburan di langit. Dalam pikiran si anak, bintang-bintang itu ' menempel ' di langit seperti lampu-lampu di rumahnya menempel di langit-langit rumah. Jika kepada anak kecil itu diberi tahu bahwa bintang-bintang itu tidak menempel dan juga besarnya bintang-bintang itu jauh lebih besar dari rumahnya, niscaya anak kecil itu akan membantah. Oleh sebab itu, jangan silau dengan kebesaran nama ilmuwan yang anda ketahui dia atheis dan atau agnostik, mereka bukanlah seorang jenius dalam arti yang sebenarnya. Jenius sebenarnya, pertama, adalah mereka yang beriman kuat kepada Tuhan Sang Pencipta, bahkan ....mereka menyembah karena melihatNya.
Dan jangan terkecoh dengan argumen klasik bahwa golongan mereka yang lebih banyak menerima Hadiah Nobel. Memang tidak salah gologan mereka lebih banyak menerima Hadiah Nobel, tapi Hadiah Nobel itu sendiri bukanlah jaminan bahwa sains yang ditemukan itu benar. Sekarang ini sudah mulai terungkap dengan ditemukan bukti-bukti baru - antara lain diungkap oleh Dr.Henry Bauer - bahwa banyak sekali penemuan di dunia sains yang mendapat penghargaan Nobel, ternyata keliru !
Terhadap mereka yang akalnya belum sampai tidak boleh dipaksakan, karena bisa menimbulkan fitnah.
Berkaitan dengan hal itu pula dalam pengajarannya Imam Al-Ghazali sering mengakhiri dengan kata-katanya :
" Kukira cukup di sini aku harus menarik kendali uraianku, sebab kurasa anda tak akan mampu menerima seperti ini lebih dari kadar yang telah kuberikan, " atau mengakhiri uraiannya dengan kata-kata yang senada. Hal ini menimbulkan pertanyaan, seolah-olah dalam pengajarannya masih ada yang disembunyikan. Hal itu tidak lain adalah wujud kearifan Imam Al-Ghazali, yakni untuk mencegah terjadinya fitnah.
Berkenaan dengan hal itu Imam Al-Ghazali mengatakan : " Ketahuilah, wahai saudaraku yang beri'tikaf di alam akal, bahwa tidaklah aneh menurut akal, bahwa di balik akal masih ada kondisi lain yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal."
Apa yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali dengan kata-kata ' di balik akal ', yakni sesuatu yang berkaitan dengan daya pencerapan mata batin, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal, melainkan sesuai dengan akal. Namun sesuatu itu barangkali dipandang ' tidak mauk akal ' bagi sebagian orang, bukanlah tidak masuk akal dalam arti sebenarnya, melainkan karena akal mereka belum sampai.
Contoh sederhana mereka yang akalnya belum sampai bisa diibaratkan seorang anak kecil waktu malam hari memandang ke langit dan melihat bintang-bintang bertaburan di langit. Dalam pikiran si anak, bintang-bintang itu ' menempel ' di langit seperti lampu-lampu di rumahnya menempel di langit-langit rumah. Jika kepada anak kecil itu diberi tahu bahwa bintang-bintang itu tidak menempel dan juga besarnya bintang-bintang itu jauh lebih besar dari rumahnya, niscaya anak kecil itu akan membantah. Oleh sebab itu, jangan silau dengan kebesaran nama ilmuwan yang anda ketahui dia atheis dan atau agnostik, mereka bukanlah seorang jenius dalam arti yang sebenarnya. Jenius sebenarnya, pertama, adalah mereka yang beriman kuat kepada Tuhan Sang Pencipta, bahkan ....mereka menyembah karena melihatNya.
Dan jangan terkecoh dengan argumen klasik bahwa golongan mereka yang lebih banyak menerima Hadiah Nobel. Memang tidak salah gologan mereka lebih banyak menerima Hadiah Nobel, tapi Hadiah Nobel itu sendiri bukanlah jaminan bahwa sains yang ditemukan itu benar. Sekarang ini sudah mulai terungkap dengan ditemukan bukti-bukti baru - antara lain diungkap oleh Dr.Henry Bauer - bahwa banyak sekali penemuan di dunia sains yang mendapat penghargaan Nobel, ternyata keliru !
" There are a number of such instances or cases where the lauded discovery later turned out to be, if not entirely wrong, then seriously misleading or just not useful:
1903, Prize to Niels Finsen for light therapy as a cure for various conditions including tuberculosis.
1927, Julius Wagner-Jauregg, for treatment of mental illness by inoculation with malaria!
1949, Antonio C. de A. F. E. Moniz, for treatment of mental illness by surgery (lobotomy).
1975, to David Baltimore, Renato Dulbecco, Howard Temin “for their discoveries concerning the interaction between tumour viruses and the genetic material of the cell” — part of the red-herring search for viruses that cause human cancers, and responsible for the consequential error that reverse transcriptase activity demonstrates the presence of a retrovirus.
1976, to Carleton Gajdusek for discovering the first “slow virus”, which supposedly caused Kuru in humans and analogous brain disease in animals, for instance mad-cow disease. Since 1997 (Prize to Stanley Prusiner), it’s been believed that these diseases are not caused by viruses but by prions, a class of proteins.
1989, to Michael Bishop and Harold Varmus for the “discovery of the cellular origin of retroviral oncogenes”.
( Dr.Henry Bauer, Nobel Prizes Illustrate that Doctors are Not Scientists,hivskeptic.wordpress.com, 2008/10/19 ) "
Terhadap mereka yang akalnya belum sampai tidak boleh dipaksakan, karena bisa menimbulkan fitnah.
Berkaitan dengan hal itu pula dalam pengajarannya Imam Al-Ghazali sering mengakhiri dengan kata-katanya :
" Kukira cukup di sini aku harus menarik kendali uraianku, sebab kurasa anda tak akan mampu menerima seperti ini lebih dari kadar yang telah kuberikan, " atau mengakhiri uraiannya dengan kata-kata yang senada. Hal ini menimbulkan pertanyaan, seolah-olah dalam pengajarannya masih ada yang disembunyikan. Hal itu tidak lain adalah wujud kearifan Imam Al-Ghazali, yakni untuk mencegah terjadinya fitnah.
***
Ketahuilah saudaraku yang beri'tikaf di alam akal, Tuhan Allah memiliki nama-nama yang indah ( Asmaul Husna - 99 nama ), antara lain Al-Awwal ( Maha Awal ), Al-Basir ( Maha Melihat ), dan As-Sami' ( Maha Mendengar ). Jika anda mengadakan pertemuan dengan rekan-rekan anda di suatu tempat di mana saja untuk suatu persekongkolan rahasia, misalnya, baik siang hari maupun malam hari, maka sebelum anda dan rekan-rekan anda datang di tempat tersebut Tuhan Allah sudah hadir lebih dulu di tempat itu.
Dialah yang paling dahulu hadir di semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia, baik kegiatan itu dilakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Oleh sebab itu di setiap saat dan di semua tempat yang anda datangi, pertama kali ucapkan salam dan shalawat kepada Nabi, demikian juga ketika akan meninggalkan tempat tersebut. Termasuk juga ketika anda akan bepergian keluar rumah yang anda tempati, dan ketika kembali ke rumah lagi. Ucapkan salam, di darat, di laut, maupun di udara, Insya Allah Dia selalu bersamamu.
KIDUNG
RUMEKSA WENGI\
DANDANGGULO
CIPTAAN SUNAN KALIJOGO
1,Ana kidung rumekso ing wengi 2.Sagung
pancabaya samiya bali
Teguh ayu luputo ing lara Sakathahe ama amiruda
Dohna ing bilahi kabeh Wedi asih pandulune
Jin syaitan datan purun Sakehe bajra luput
Paneluhan tenung tan wani Pira-pira pan wuk sakalir
Miwah penggawe ala Saliring wisa tawa
Gunane wong, luput Sato kurdha tutut
Agni atemahan tirta Kayu aeng lemah sangar songing landak
Maling adoh tan ana ngarah ing mami Guwane wong lemah miring
Tujuh duduk pan sirna Pakekipone merak
3.Panggupakane warak sakalir 4.Nafasku Nabi Isa linuwih
Nadyan arso myang segara alas Nabi Yakup pamiyarsa
ningwang
Temahan rahayu kabeh Yusuf ing
rupaku reke
Sarwa sarira ayu
Nabi Daud swaraku
Engideran ing widodari Njeng Sulaiman
kasekten mami
Rinekseng ing malaekat Ibrahim
kang anyawa
Sakathahe rasul
Idris ing rambutku
Pan dadiya sarira tunggal Said Ali kulit
ingwang
Ati Adam uthekku Baginda Isis Abubakar getih daging
Umar Singgih
Pangucapku ya Musa Balung Baginda Usman
5.Sungsumku Fatimah
kang linuwih, Aminah bebayune angga,
Ayup minangka ususe, Sekehe wulu
tuwuh. Ing sarira tunggal lan Nabi, Cahyaku
Muhammad panduluku rasul, Pinayungan
Adam Kawa, Sampun jangkep sakathahe Nabi-Wali,
Dadiya sarira tunggal.