Bila mendengar kata sufi dan sufisme, pertama kali yang muncul di benak kita adalah gambaran seorang kiai lengkap dengan atributnya sorban dan tasbih, kiai tersebut hidup di pelosok desa jauh dari keramaian kota. Atau, barangkali yang muncul di benak kita adalah gambaran pengikut tarikat yang hidup berkelompok mengasingkan diri dari masyarakat umum, dan mereka melakukan ibadah dengan cara-cara tertentu, berbeda dengan ibadah yang dilakukan oleh masyarakat umum. Dari gambaran-gambaran tersebut memunculkan anggapan, bahwa sufi dan sufisme cenderung tertutup atau mengisolir diri.
Gambaran sufi dan
sufisme seperti di atas mungkin tidak seluruhnya benar. Demikian juga klaim bahwa predikat sufi hanya
bisa diraih oleh golongan uztad atau kiai – atau mereka yang mengikuti tarikat
tertentu - tidak bisa diraih oleh awam ataupun oleh penghayat keagamaan
lainnya. Dan barangkali pula, gambaran
sufi dan sufisme tersebut di atas itu yang mendorong atau memberi motivasi
terhadap mereka, sehingga melakukan penghayatan keagamaan secara
eksklusif dan isolatif dalam upayanya
mencari keteduhan rohani.
Pada hakikatnya, sufi identik dengan zuhud, yaitu taraf perjalanan dalam penghayatan keagamaan, di mana sudah tidak tergoda dengan segala hal yang bersifat duniawi, dan menghadapkan hati semata-mata hanya kepada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Zuhud, dalam bahasa
kaum sufi adalah suatu kondisi dimana seseorang sudah bisa melepaskan diri dari
‘ kurungan ‘ duniawi yang membelenggunya selama ini, dan dalam kondisi lepas
dari kurungan orang tersebut menatap pribadinya sendiri yang sebenarnya. Sedangkan dalam bahasa filsafat sesuai yang
diajarkan oleh Ki Ageng Suryo Mentaram,
istilah zuhud dalam sufisme dapat diartikan sebagai suatu kondisi
seeorang yang telah mampu membelenggu ‘ kramadangsa ‘ dan kemudian melihat dan
bertemu ‘ manusia sejati ‘.
Zuhud adalah suatu
kondisi batin dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, bersifat sangat pribadi, dan oleh karenanya
tidak mudah diketahui oleh orang lain,
kecuali oleh orang-orang yang zuhud juga. Dengan kata lain, seorang sufi yang sebenarnya hanya bisa
diketahui atau dikenal oleh sufi lainnya.
Menurut Syech Abdul
Qadir Jaelani, seseorang yang zuhud
tidak berarti bahwa dia itu sepenuhnya menolak duniawi. Pada awal perjalanannya mungkin seseorang
tadi mendapat cobaan dari Allah dengan beberapa perkara yang sedemikian berat
sehingga menyebabkan terputus hubungannya dengan sanak-keluarganya, kerabatnya,
dan juga terputus dengan cara-cara mendapatkan rezekinya. Cobaan itu berlangsung sedemikian rupa
sehingga tidak ada lagi yang tersisa selain ruhnya. Segala hal yang bersifat duniawi akhirmya
dilupakan oleh hamba tersebut, dan
hatinya semata-mata menghadap kepada Allah.
Jadilah hamba tadi sebagai seseorang yang dekat dan dikasihi Allah.
Dalam kondisi demikian,
menurut Syech Abdul Qadir Jaelani, bisa saja hamba tadi dikembalikan lagi oleh
Allah ke dalam urusan dunia, karena ada
bagian-bagian tertentu dari duniawi yang menjadi haknya, dan pasti akan
diterimanya. Selanjutnya seorang hamba tadi akan menolak atau menerima duniawi
sesuai perintah batinnya, hal ini
berdasarkan rahasia Ilahi yang diketahuinya.
Mengingat hamba tadi
berhubungan langsung kepada Allah, sikap
dan perilaku hamba tersebut sering terlihat aneh bagi pandangan awam. Namun keanehannya tidaklah bertentangan
dengan syariat, sekedar lain dari hal-hal yang dianggap biasa oleh awam. Kezuhudan dan kedekatan hamba tadi justru
berkat kepatuhan menjalankan syariat,
baik sebelum, selama dan sesudah masa-masa percobaan.
Keanehan dari perilku
sufi, barangkali, disebabkan karena egonya yang sudah tidak mendapat peranan
penting. Ego atau Kramadangsa berhasil
dikalahkan, sehingga hamba tadi menjadi manusia yang merdeka, yaitu bebas dari
perbudakan oleh egonya.
Perjuangan seorang
hamba dalam mengalahkan egonya, hal itu sebenarnya yang dimaksud oleh Nabi
Muhammad SAW sebagai ‘ perjuangan besar
‘. Dan hal itu pula yang dimaksud dalam
firman Allah : “ Tahukah engkau yang disebut jalan pendakian itu ? Jalan pendakian itu ialah, pertama
menghapuskan perbudakan. Ke dua, memberi makan kepada orang-orang miskin “.
Perbudakan yang dimaksud adalah perbudakan manusia oleh egonya, karena hal itu adalah akar dari segala keburukan, dan merupakan penyebab mengapa manusia tidak mengenal pribadinya sendiri yang sebenarnya.
Perbudakan yang dimaksud adalah perbudakan manusia oleh egonya, karena hal itu adalah akar dari segala keburukan, dan merupakan penyebab mengapa manusia tidak mengenal pribadinya sendiri yang sebenarnya.
Jalan yang ditempuh
sufi, seperti yang diajarkan oleh Syech Abdul Qadir Jaelani dan juga dijelaskan
oleh Imam Al-Ghazali, adalah perpaduan
antara syariat dan hakikat. Dalam hal
ini syariat diibaratkan sebagai tiang,
sedangkan hakikat diibaratkan sebagai bayangan dari tiang tersebut. Bila tiangnya lurus, maka bayangannya
juga lurus. Sebaliknya bila tiangnya
bengkok, maka bayangannya juga bengkok. Syech Abdul Qadir Jaelani menekankan
kepatuhan menjalankan syariat sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam salah satu nasehatnya, beliau
berpesan yang intinya menyatakan bahwa apapun tingkatan yang telah dicapai, dan
dengan pengetahuan hakikat yang telah dibukakan oleh Allah, maka jangan sekali-kali merubah syariat Nabi,
***
Dalam buku karyanya
yang berjudul Misykat al-Anwar, Imam
Al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘ jalan
pendakian ‘ atau mi’raj yang
dialami oleh seorang hamba itu berbeda-beda caranya. Disebutkan adanya tiga cara : ada yang mengalami secara ma’rifat ilmu, dan ada yang meraihnya
dengan ‘ dzauq ‘ yaitu suatu cita
rasa batiniah yang tinggi, dan ada yang
mengalami dengan cara yang disebut ‘haal ‘, yaitu suatu keadaan luar biasa yang meliputi
diri seseorang.
Imam Al-Ghazali tidak
menjelaskan bagaimana mi’raj secara ma’rifat ilmu itu. Kemungkinan yang dimaksud adalah mi’rajnya
para sufi atau filsuf yang sepanjang hidupnya berusaha mencari kebenaran dengan
berpikir sedalam-dalamnya tentang hakikat kehidupan.
Sedangkan tentang mi’raj
atau jalan pendakian yang disebut dengan ‘ dzauq ‘, Imam Al-Ghazali menulis
sebagai berikut : “ Ketahuilah, wahai saudaraku yang beri’tikaf di alam akal, bahwa
tidaklah aneh menurut akal, bahwa di
balik akal masih ada kondisi lain yang di dalamnya tampak berbagai hal yang
tidak tampak bagi akal.”
“ Maka janganlah sekali-kali anda beranggapan bahwa puncak kesempurnaan hanya patut bagi diri anda saja. Bila anda ingin suatu misal bagi sejumlah keistimewaan khusus yang dapat anda saksikan pada diri orang-orang tertentu, lihatlah bagaimana sebagian dari mereka memiliki dzauq, cita rasa batiniah yang halus, tentang syair yang hanya dikhususkan bagi mereka. “
Kemudian lanjutnya : “ Perhatikanlah,
betapa sebagian orang memiliki dzauq yang amat kuat sehingga mampu menciptakan musik dan lagu-lagu serta melodi yang adakalanya menimbulkan kesenduan atau
kegembiraan, membuat pendengarnya tertidur lelap, menangis, membunuh, pingsan,
atau gila. Kuatnya pengaruh seperti itu
hanyalah pada diri mereka yang memang memiliki bakat dzauq pula. Sedangkan orang yang sama sekali kosong dari
dzauq itu, mungkin saja ia ikut
mendengarkan lagu-lagu, tetapi tidak merasakan pengaruhnya sedikit pun, sehingga kadang-kadang ia menjadi
terheran-heran melihat kawannya yang diliputi kerinduan dan kesyahduan lalu tak
sadarkan diri. Sekiranya orang-orang
pandai yang memiliki dzauq ini berkumpul untuk membuatnya dapat memahami arti
dzauq, niscaya mereka takkan berhasil. “
Akhirnya Imam
Al-Ghazali menyampaikan nasehatnya,
berupayalah agar menjadi seorang ahli dzauq dengan sebagian dari ruh
mereka itu, sebab para wali memiliki
bagian yang cukup besar daripadanya.
***
Tentang jalan pendakian
atau mi’raj yang berikutnya, yang disebut ‘ haal ‘ adalah suatu jalan pendakian
yang tidak banyak memakan waktu. Dan bisa terjadi kepada siapa saja hamba-hamba
yang memang dikehendaki oleh Allah.
Mereka ini dalam waktu sekejab memperoleh kesempatan paling dahulu untuk
meraih ma’rifat tentang kekudusan serta pensucian sifat keagungan
Rububiyah. Menurut penjelasan Imam
Al-Ghazali, hamba yang dikehendaki oleh Allah tersebut dengan tiba-tiba diserbu
oleh Tajalli Ilahi secara sekaligus, sehingga cahaya-cahaya wajahNya membakar
segala yang dapat diserap oleh penglihatan inderawi maupun penglihatan batiniah
mereka.
Tentang hal ini,
barangkali kita bisa memetik pelajaran dari kisah di Alkitab dari seorang yang
bernama Saulus. Saulus pada awalnya adalah
penentang Yesus, dan selalu berusaha memburu dan menangkap para pengikut
Yesus. Namun ketika pada suatu ketika ia
akan menangkap pengikut Yesus yang berada di dalam suatu kota, tiba-tiba saja ada kejadian luar biasa yang
menimpanya, matanya menjadi buta. Kisah selanjutnya ia justru yang " ditangkap " oleh pengikut Yesus, untuk dirawat dan disembuhkan. Dan setelah sembuh, Saulus berubah total menjadi pengikut yang setia dan pembela Yesus. Di kemudian hari ia dikenal sebagai Rasul
Paulus. Dan Rasul Paulus inilah pribadi yang berjasa besar dalam membesarkan
syiar agama Kristen. Walahualam.
Dari pembahasan di atas
semoga bisa memberi gambaran tentang sufi dan sufisme. Semua para Nabi atau Utusan Allah, pada
dasarnya adalah Sufi Agung dan pribadi-pribadi agung yang terpilih untuk
mengajarkan jalan agama. Untuk melengkapi
pemahaman, di bawah ini disampaikan suatu kisah yang kadang-kadang digunakan
sebagai pengajaran dalam memahami sufi dan sufisme.
Pada suatu ketika,
seorang pedagang yang sedang dalam kesulitan datang menemui sufi Jalaludin
Rumi. Sebelum pedagang itu mengutarakan
kesulitannya, Rumi berkata : “ Engkau
mendapat kesulitan karena pada suatu hari nun jauh di negeri Barat sana, engkau melihat seorang darwis Kristen di
tengah jalan, dan engkau meludahinya.
Temui dia dan minta maaf padanya, dan sampaikan salam kami kepadanya. “
Segera saja pedagang
itu melakukan pejalanan untuk menemui darwis yang dimaksud. Ketika bertemu, ulama Kristen itu berkata : “ Guru kami Jalal telah menghubungi saya, “ kemudian menunjuk ke satu arah. Pedagang itu melihat ke arah yang ditunjuk
oleh darwis, dan melihat Jalaludin Rumi sedang membaca kata-kata berikut ini
: “
Tak peduli kerikil atau permata, semuanya akan mendapat tempat di
bukitNya, ada tempat bagi semuanya …………”