Social Icons

13 September 2012

KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN NASIONALISME BARU INDONESIA


                   
PENDAHULUAN
Namanya Sawali dan Slamet, keduanya bukan nelayan biasa. Sawali dan Slamet, keduanya tangkas memainkan layar perahu, dan tangkas pula memegang kemudi. Lebih dari itu, keduanya adalah pemuda yang berani, dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Karena itulah keduanya diikutkan dalam rombongan yang terdiri dari tiga perahu, berlayar dari pulau Jawa menuju pulau Bali. Tim ekspedisi kecil itu dipimpin oleh pak Markadi, pelaut yang lebih berpengalaman
Sawali dan Slamet, keduanya adalah pemuda sederhana. Bahkan, teramat sederhana. Keduanya tersipu dan saling memandang ketika telah mengenakan seragam yang harus dipakainya dalam perjalanan laut itu. Namun dibalik kesederhanaannya, tersembunyi tekad dan semangat juang yang tinggi. Oleh karena itu keduanya tidak gentar ketika perahunya dihempas gelombang setibanya mereka di laut lepas. Bahkan, ketika perahunya didekati oleh kapal patroli musuh, keduanya justru memekikkan semangat juangnya : " Tahan Kemudi ! Kembangkan layar ! Majuu...........!! "
Hampir saja kapal patroli itu menabrak perahunya. Kelasi dan opsir yang ada di kapal patroli itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti. Namun Sawali dan Slamet tidak mempedulikannya. Opsir di kapal patroli mengumpat-umpat, kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak.......
Dan berondongan peluru menembus badan perahu, menembus ombak, dan melubangi layar perahu. Sawali dan Slamet tersungkur. Darahnya bercucuran membasuh perahu, namun tangannya masih erat memegang kemudi. Hari itu adalah hari keempat di bulan April 1946. Layar masih terkembang, dan perahu tetap melaju dibawa angin dan arus melintasi selat Bali .....................
Dan pahlawan bangsa itu, Sawali dan Slamet, keduanya bahkan tidak meninggalkan pesan apa-apa. Pesannya adalah perbuatannya. Pesannya adalah pengorbanan jiwa dan raganya. Pesannya adalah cucuran keringat dan darahnya, yang semuanya sudah menjadi satu dengan laut di Selat Bali.

Sawali dan Slamet adalah pemuda desa anak nelayan biasa, keduanya terlalu sederhana untuk meninggalkan pesan agar namanya diukirkan di monumen perjuangan bangsa. Keduanya terlalu sederhana untuk berpesan agar namanya tetap dikenang.
Namun begitu, Sawali dan Slamet, seperti juga pejuang-pejuang yang gugur lainnya - dimana namanya tak sempat tercatat di lembaran sejarah bangsa - adalah patriot dan pahlawan bangsa yang jiwa maupun semangatnya tetap hidup. Jiwa dan semangatnya abadi menyebarkan bau harum dari puncak-puncak nirwana. Dan akan selalu tetap dikenang .............
Cuplikan heroisme dan patriotisme yang mengandung nilai-nilai kesetiakawanan di atas adalah sebagian kecil saja dari kisah perjuangan dalam menjaga dan mempertahankan tetap tegaknya proklamasi kemerdekaan. Dan berlatar belakang kisah kepahlawanan itu - sebagai titik tolak pendekatan sejarah - tulisan ini selanjutnya berusaha membahas kesinambungan jiwa dan semangat patriotisme, dalam upaya meningkatkan kesetiakawanan sosial menjadi kekuatan nasionalisme baru Indonesia, yaitu kekuatan yang bisa diandalkan untuk memimpin dan meneruskan pembangunan.


PATRIOTISME DAN NILAI-NILAI KESETIAKAWANAN SOSIAL PEJUANG '45
Sejarah perlawanan rakyat Indonesia dalam menjaga dan mempertahankan tetap tegaknya proklamasi kemerdekaan, merupakan sejarah yang banyak berisi catatan-catatan tentang penderitaan dan kesengsaraan bersama, kesetiakawanan sosial yang tinggi dan kerelaan untuk berkorban, serta semangat pantang menyerah untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bersama.
Jika demikian, bagaimana identitas patriotisme yang telah menghasilkan kenang-kenangan nasional tentang kepahlawanan itu ? Tidak ada kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya, selain kata-kata seperti : - bambu runcing, letupan bedil, desingan peluru, cucuran keringat dan darah ..... Juga, pekik perjuangan seperti : - Merdeka ! Sekali Merdeka Tetap Merdeka ! Merdeka atau Mati ! ......
Patriotisme pejuang 45 adalah semangat cinta tanah air yang merdeka dan berdaulat. Dan karena yang menjadi tujuan adalah tanah air yang merdeka dan berdaulat, maka jiwa yang tadinya mengalami penderitaan dan kesengsaraan bersama disebabkan oleh praktek kolonialisme, bangkit dan menyatukan diri untuk mempertahankan hak milik nasional yang telah dicapainya. Oleh karena itu, jiwa ini tidak memandang kelompok atau golongan. Tidak memandang kaya atau miskin. Tidak memandang terpelajar atau bukan terpelajar.
Patriotisme pejuang 45 bangkit dalam bentuk jiwa kesetiakawanan sosial yang tinggi, disertai kerelaan untuk berkorban, karena semuanya merasa senasip dan sepenanggungan. Ibaratnya, pernah merasakan makan getuk sama-sama. Sehingga semuanya merasa sama dan ingin bersatu. Tidak peduli apakah rakyat biasa, tentara, atau bangsawan. Tidak peduli kaya atau miskin. Buta huruf atau melek huruf. Insinyur atau tukang. Cina, Arab keturunan atau Jawa, Batak, Madura. Singkatnya, suatu jiwa kesetiakawanan sosial yang tinggi, tulus ihlas dan rela berkorban demi tetap tegak dan utuhnya proklamasi kemerdekaan.
Jiwa semacam itulah yang menghidupi rasa kebangsaan atau nasionalisme pejuang 45, dan memberi arah serta tujuannya. Sehingga nasionalisme pejuang 45 adalah nasionalisme yang berisi keinginan untuk bebas dari penjajahan. Keinginan untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan itu. Keinginan untuk berdaulat, sehingga dapat mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara secara mandiri. Serta keinginan untuk bersatu, sehingga dapat bersama-sama berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa nilai-nilai kesetiakawanan sosial pejuang 45 - yang menjadi landasan tumbuhnya kekuatan nasionalisme 45 - yang pokok dan terpenting ialah :
1.- Kuatnya perasaan keinsyafan tentang Kesamaan Nasip.
2.- Kuatnya perasaan keinsyafan tentang Kesamaan Tujuan.
Keinsyafan tentang Kesamaan Nasip, dalam hal ini timbulnya kesadaran bahwa telah sama-sama menderita akibat dari praktek-praktek kolonialisme. Timbulnya kesadaran di seluruh lapisan masyarakat, bahwa mulai dari rakyat jelata sampai ke golongan menengah, golongan terpelajar maupun bangsawan, semuanya tidak ada yang merasa beruntung karena praktek kolonialisme. Dan keinsyafan tentang kesamaan nasip inilah yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat, untuk bersama-sama berjuang mencapai cita-cita bangsa.
Keinsyafan tentang Kesamaan Tujuan, dalam hal ini adalah timbulnya kesadaran tentang perlunya membebaskan bangsa dari penjajahan, sehingga bisa menjadi bangsa yang merdeka serta bebas untuk menentukan nasip sendiri. Dan keinsyafan tentang kesamaan tujuan inilah yang mempersatukan seluruh cita-cita perjuangan, serta mengatasi segala perbedaan pendapat, sehingga menjadi kekuatan nasional yang hebat dan sanggup membebaskan bangsa dari penjajahan.
Keinsyafan tentang Kesamaan Nasip dan Tujuan inilah sebenarnya yang menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pejuang 45 dalam membebaskan bangsa dari penjajahan, serta keberhasilan dalam mempertahankan tetap tegak dan utuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dapat dibayangkan, misalnya, bila keinsyafan tentang kesamaan nasip itu tidak dibarengi dengan keinsyafan tentang kesamaan tujuan. Jelas, motivasi perjuangan akan terpecah-pecah, dan pada gilirannya akan melemahkan perjuangan itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, bila tujuan sudah sama, namun rasa senasip sepenanggungan tidak ada, jelas hal ini akan menimbulkan kurangnya rasa kesetiakawanan, dan pada gilirannya akan menimbulkan perjuangan yang setengah-setengah atau tidak mantap.
Beruntung dan bersyukurlah kita, bahwa pada awal perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan itu sudah berhasil ditumbuhkan, sehingga berkembang dan meningkat menjadi kesetiakawanan sosial yang tinggi. Dan nilai-nilai kesetiakawanan sosial inilah yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kekuatan nasionalisme 45. Akhirnya berhasil mengantarkan rakyat ke pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.

KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN NASIONALISME INDONESIA.

Ernest Renan, dalam pidatonya pada tanggal 11 Maret 1882 di Universitas Sorbonne, Paris, berusaha menjawab pertanyaan : - Apakah bangsa itu ? ( Qu'est ce qui' une nation' ? ).
Menurut Ernest Renan, bangsa adalah suatu jiwa atau asas kerohanian. Dan jiwa atau asas kerohanian itu ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu :
1.- Kemuliaan bersama di waktu lampau. Dari aspek ini bangsa dapat disebutkan sebagai hasil dari sejarah.
2.- Kehendak untuk bersatu, yaitu suatu keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang dan untuk masa yang akan datang. Dari aspek ini bangsa dapat disebutkan sebagai suatu solidaritas atau kesetiakawanan yang besar dari manusia untuk melangsungkan kehidupan bersama.
Bagi Ernest Renan, manusia bukanlah budak dari keturunan atau rasnya, bahasanya, agamanya, maupun tempat tinggal atau tanah airnya. Bangsa adalah suatu asas kerohanian, yaitu suatu kesadaran moral untuk bersatu dan hidup bersama. Teori Kebangsaan Ernest Renan dapat dipandang sebagai " teori perasaan atau kehendak ". Dan bertentangan dengan " teori kebudayaan ", yang menyatakan bahwa suatu bangsa merupakan perwujudan dari adanya persamaan kebudayaan, yakni persamaan bahasa, agama, dan keturunan atau ras.
Otto Bauer, seorang tokoh partai Sosial Demokrat Austria, pada tahun 1907 dalam menjawab pertanyaan yang sama, menyatakan bahwa yang disebut suatu bangsa ialah suatu masyarakat ketertiban yang muncul dari masyarakat yang senasip. Dengan kata lain, bangsa adalah suatu kesamaan perangai / karakter yang timbul karena kesamaan nasip. Teori Otto Bauer ini dapat dipandang sebagai " teori kesamaan nasip ".
Rudolf Kjellen, dalam bukunya Der Staat als Lebensform, menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari mahluk. Suatu bangsa mempunyai dorongan untuk hidup, mempertahankan diri, dan kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk hidup itu adalah suatu keinginan untuk menjadi satu rakyat yang bersaudara satu sama lain. Teori kebangsaan dari Rudolf Kjellen ini hampir sama dengan teori Ernest Renan, yaitu adanya kehendak untuk bersatu.
Sedangkan Karl Haushofer, dalam bukunya Geopolitik des Pazifisches Ozeans ( 1924 ) mengemukakan teori kebangsaan berdasarkan " blut - und - boden ", atau teori " darah - dan - tanah. " Teori ini merupakan bagian dari teori geopolitik yang menyatakan adanya kesatuan antara manusia dengan tanah air sebagai tempat tinggalnya. Teori kebangsaan Karl Haushofer ini sering disebut sebagai teori geopolitik. Dan teori geopolitik ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kaum nasionalis di Indonesia. Bung Karno, tokoh pergerakan nasional saat itu merupakan pendukung teori geopolitik ini.

Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Bung Karno menyatakan, bahwa menganut faham kebangsaan berdasarkan teori Ernest Renan dan Otto Bauer saja tidak cukup. Renan dan Bauer hanya melihat manusianya, hanya memikirkan perasaan, kehendak, dan karakter dari manusianya. Mereka tidak melihat tanah air sebagai tempat tinggal manusianya itu. Oleh karena itu menurut Bung Karno, faham kebangsaan Renan dan Bauer itu harus dilengkapi dengan faham adanya kesatuan antara manusia dengan tempat tinggalnya. Dengan demikian ada hubungan antara perasaan, kehendak, dan karakter dari manusia dengan tanah air yang menjadi tempat tinggalnya.

Dari berbagai teori maupun faham kebangsaan yang dikemukakan di atas,  kita bisa mengetahui adanya pokok-pokok pemikiran yang sama atau saling melengkapi.   Dan khususnya teori Ernest Renan,  Otto Bauer,  dan Rudolf Kjellen  :   kehendak untuk bersatu dalam solidaritas besar,  kesamaan nasip,  dan keinginan menjadi rakyat yang bersaudara satu sama lain,  ini semua tidak lain adalah unsur-unsur dari kesetiakawanan sosial yang didasari oleh adanya keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan.

Demikian pula teori kesatuan antara manusia dengan tempat tinggalnya,  teori persamaan kebudayaan,  pada dasarnya tercakup dan terkandung dalam keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan sebagai unsur pokok dan terpenting dari suatu jiwa kesetiakawanan sosial.

Berdasarkan pemikiran itu kita bisa menyatakan,  bahwa pada dasarnya suatu jiwa kesetiakawanan sosial adalah merupakan unsur pokok dari segala faham tentang kebangsaan.   Dengan kata lain,  suatu kesetiakawanan sosial yang berdasarkan atas kesamaan nasip dan tujuan,  merupakan unsur pokok dari kekuatan semangat kebangsaan atau nasionalisme.

Ide atau konsep tentang Kesetiakawanan Sosial sebagai Unsur Pokok Kekuatan Nasionalisme ini nampak dengan jelas dalam pandangan Panitia Lima tentang Bangsa.   Yang dimaksud dengan Panitia Lima adalah sebuah panitia yang disusun atas anjuran pemerintah (  Presiden Soeharto ),  dengan maksud untuk memberikan pengertian mengenai Pancasila sesuai alam pikiran dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945.   Panitia Lima ini semula diharapkan dapat terdiri  dari mantan Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disebut Piagam Jakarta.   Tetapi berhubung pada saat dibentuknya Panitia  tersebut yang masih hidup tinggal tiga orang  :   Dr.Mohammad Hatta,  Prof.Mr. Ahmad Subardjo Djojodisurjo,  dan Mr. Alex Andries Maramis,  maka dilengkapi dengan Prof.Mr. Sunario dan Prof.Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo  (  mantan Sekretaris BPUPKI  ),  sehingga menjadi lima orang.

Dalam buku "  Uraian Pancasila " yang kemudian diterbitkan  (  Panitia Lima,  Penerbit Mutiara,  Jakarta,  1977 ) panitia ini menyimpulkan bahwa Bangsa adalah : 

................ditentukan oleh Keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu,  yaitu Keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasip dan tujuan.   Keinsyafan itu bertambah besar oleh karena sama seperuntungan,  malang sama diserita,  mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama,  kesengsaraan bersama,  pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam di dalam hati dan otak. "

Bila diperhatikan,  pengertian yang terkandung dalam kriterium di atas tidak lain adalah suatu ide atau konsep tentang Kesetiakawanan Sosial.   Dan menurut Panitia Lima,  kriterium seperti itulah yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan persatuan bangsa,  guna mencapai tujuan hidup bangsa Indonesia.


KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN
NASIONALISME BARU INDONESIA


Nasionalisme adalah suatu proses sejarah.   Sebagai proses sejarah,  nasionalisme tidak pernah berhenti.   Nasionalisme tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan.   Tidak berhenti dengan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.   Juga tidak berhenti dengan lahirnya Orde Baru.    Nasionalisme terus bergerak,  tumbuh,  dan akan terus berkembang sesuai dengan gerak perkembangan masyarakat.

Namun harus diingat,  bahwa perkembangan nasionalisme itu bukanlah perkembangan yang akan terjadi dengan sendirinya.   Bukan perkembangan yang dibiarkan tanpa arah maupun tujuan yang jelas.   Bila nasionalisme dibiarkan berkembang tanpa arah,  tanpa dibina dan dikendalikan,  bisa terjadi nasionalisme tersebut berkembang secara liar,  sehingga dapat menjadi semacam penyakit kanker bagi kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu jiwa dan semangat nasionalisme harus selalu dibina,  dikembangkan,  serta diarahkan terus-menerus,  menuju ke arah perwujudan dari kekuatan-kekuatan nasionalisme yang diperlukan untuk pembangunan bangsa.






Share

 
Blogger Templates